Aksara
Nusantara merupakan beragam aksara atau tulisan yang digunakan di Nusantara untuk secara khusus menuliskan
bahasa daerah tertentu. Walaupun Abjad Arab dan Alfabet
Latin juga
seringkali digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, istilah Aksara Nusantara
seringkali dikaitkan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India sebelum berkembangnya Agama Islam di Nusantara dan sebelum
kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.
Pengantar
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad IV.
Setidaknya
sejak abad IV itulah Bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang
mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak
bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam bentuk
tulisan selain dari Bahasa Sanskrta yang pada masa sebelumnya merupakan
satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad XV Aksara Nusantara
berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan
berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh Abjad
Arab dan Alfabet Latin.
Sebagaimana
halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, pada masa kini Aksara
Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena
itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian
budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara
daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi
dasar munculnya Aksara Sunda Baku pada tahun 1996.
Hampir semua
aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari
daerah India Selatan. Aksara Jawi, Akara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang
merupakan turunan Abjad Arab; sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India
Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara
Brahmi yang merupakan induk semua aksara di Asia Selatandan Asia Tenggara.
Istilah
Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang
digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di Filipina merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini
meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó'o, dan
Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa
Filipina.
Beberapa
aksara daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut nama abecedarium aksara tersebut. Demikianlah maka
Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara
Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku disebut juga
Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa : ka kha ga gha nga.
Media Tulis
Berbagai
macam media tulis dan alat tulis digunakan untuk menuliskan Aksara Nusantara.
Media tulis untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu, tanduk hewan,
lempengan emas, lempengan perak, tempengan tembaga, dan lempengan perunggu;
tulisan dibuat dengan alat tulis berupa pahat. Media tulis untuk naskah antara
lain meliputi daun lontar, daun nipah, janur kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal, kertas impor, dan kain; tulisan dibuat dengan
alat tulis berupa pisau atau pena dan tinta.
Perbedaan
media tulis dan alat tulis mempengaruhi teknik yang digunakan untuk menulis
dengan efektif. Perbedaan teknik penulisan yang efektif untuk tiap jenis media
tulis dan alat tulis merupakan faktor besar yang menghasilkan keanekaragaman
bentuk huruf aksara daerah. Aksara Sunda Kuno memiliki bentuk huruf yang
menyudut karena bentuk huruf menyudut paling mudah untuk dituliskan di daun lontar,
sedangkan Aksara Bali memiliki bentuk huruf membundar karena bentuk huruf
menyudut akan memecah lembaran daun lontar mengikuti arah seratnya. Aksara
Kerinci memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut lebih
mudah untuk dituliskan di bilah bambu, sedangkan Aksara Jawa Baru memiliki
bentuk huruf membundar karena bentuk huruf membundar lebih mudah untuk
dituliskan di lembaran kertas.
Periodisasi
Aksara Nusantara
Akara yang
berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada umumnya digunakan
untuk menuliskan Bahasa Sanskrta atau bahasa daerah yang sangat terpengaruh
Bahasa Sanskrta.
Aksara Pallawa
Aksara Nagari
Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
Aksara Buda
Aksara Sunda Kuna
Aksara Proto-Sumatera
Zaman Kerajaan-kerajaan Islam
Aksara yang
berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di antaranya memiliki huruf untuk
menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa daerah
(misalnya Aksara Jawa dan Aksara Bali) ataupun sistem vokalnya mengikuti sistem
vokal Abjad Arab yang hanya mengenal tiga bunyi vokal (misalnya Aksara Kerinci
dan Aksara Buhid).
Aksara Batak (Surat Batak)
Aksara Rejang
Aksara Kerinci (Surat Incung)
Aksara Lampung (Had Lappung)
Aksara Jawa (Aksara Jawa Baru / Hanacaraka)
Aksara Bali
Aksara Lontara
Aksara Baybayin (Aksara Tagalog)
Aksara Tagbanwa
Aksara Buhid
Aksara Hanunó'o
Aksara Kapampangan
Aksara Eskaya
Zaman Modern
Aksara
daerah yang berkembang pada zaman modern memiliki huruf untuk menuliskan bunyi
dalam Bahasa Arab (misalnya f dan z) dan Bahasa Latin (misalnya x dan v) yang
tidak terdapat dalam bahasa daerah.
Aksara Sunda Baku,Perubahan Aksara Pallawa menjadi sejumlah aksara Nusantara, Aksara
Jawa Baru (Hanacaraka), Aksara Bali, dan Aksara Bugis (Lontara).
Seiring
perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara dapat
mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap
saja dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak
terpecah menjadi aksara baru. Demikianlah misalnya Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Arab sedikit berbeda dengan Abjad Arab yang digunakan
untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit berbeda dengan Alfabet Latin yang digunakan
untuk menuliskan Bahasa Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara
tidak luput dari kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang
tetap mempertahankan kaidah inti aksara induknya.
Beberapa
variasi Aksara Nusantara antara lain:
- Variasi Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
- Aksara Kayuwangi: Aksara ini
merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk membundar miring. Disebut
Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari sebelum
hingga setelah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja Mataram (855 - 885). Oleh para ahli
epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis tulisan Kawi yang paling
indah.
- Aksara Kuadrat: Aksara ini merupakan
Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak / bujursangkar.
Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini banyak dijumpai pada
prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
- Aksara Majapahit: Aksara ini
merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan banyak hiasan sehingga
kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit karena
variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit.
- Variasi Aksara Batak
- Aksara Toba: Variasi ini merupakan
Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Toba.
- Aksara Karo: Variasi ini merupakan
Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Karo.
- Aksara Dairi: Variasi ini merupakan
Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Dairi.
- Aksara Simalungun: Variasi ini
merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Simalungun.
- Aksara Mandailing: Variasi ini
merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Mandailing.
- Variasi Aksara Lampung/Ulu
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek
Pasemah
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek
Serawai
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek
Lembak
- Aksara Ulu untuk menuliskan dialek
Rejang
- Variasi Aksara Jawa
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa
Jawa dialek Banten.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa
Jawa dialek Cirebon.
- Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.
- Variasi Aksara Bali
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali.
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Kuno.
- Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Sasak.
- Variasi Aksara Lontara
- Aksara Jangang-jangang : Variasi dengan bentuk-bentuk
huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Makassar.
- Aksara Bilang-bilang : Variasi dengan bentuk-bentuk
tersendiri untuk menuliskan Bahasa Bugis.
- Aksara Lota Ende : Variasi dengan
bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Ende.
- Aksara Makassar : Variasi ini
merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Makassar.
- Aksara Bugis : Variasi ini merupakan
Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bugis.
- Aksara Lontara yang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Luwu.
- Aksara Lontara yang digunakan untuk
menuliskan Bahasa Bima.
Sumber : Wikipedia Indonesia