Sebuah Cerpen Karya A.A. Navis --
Si Dali ketemu teman lamanya di kapal Kerinci yang berlayar dari Padang
ke Jakarta, sebagai penumpang klas tiga. Ketemu setelah berlayar semalam, waktu
lagi antri ke kakus. Padahal sebelum itu mereka sudah bertatap pandang juga di
tempat tidur yang bersela seorang lain. Namun tidak saling memperhatikan,
apalagi bertegur sapa. Barulah saling memperhatikan waktu antri hendak ke kakus
itu. Mulanya saling bertatapan, lalu saling melengos. Bertatapan lagi dan
melengos lagi. Ketika bertatapan ketiga, mereka tidak melengos lagi. Mereka
sama tersenyum.
“Engkau Si Dali, bukan?” kata yang seorang.
“Si Nuan?” kata Si Dali menyahut dengan tanya.
Mereka berangkulan dengan kedua tangan masing-masing memegang peralatan
mandi, sabun, gundar gigi dan handuk.
“Sudah lama sekali kita tidak ketemu.”
“Memang sudah lama sekali.”
Mereka saling bertanya-tanya dan saling berjawab-jawab. Dengan asyik.
Sampai beberapa orang sudah keluar dan masuk kakus, mareka masih bertanya-tanya
dan berjawab-jawab. Dalam pada itu pikiran Si Dali berjalan ke masa lalu yang
sudah lama sekali.
Nuan punya saudara kembar, Nain namanya. Untuk menandai perbedaannya,
yang satu tidak segempal yang lain. Kemana-mana selalu bersama. Kata orang,
orang bersaudara kembar sering punya selera yang sama. Termasuk terhadap
perempuan. Kata orang, itu baru ketahuan kemudian. Yaitu ketika terjadi
persaingan untuk mendapati hati seorang gadis.
Yang menjadi idola pada awal revolusi, terutama oleh para gadis, ialah
prajurit yang dipinggangnya tergantung pedang samurai dan kakinya dibalut
kaplars. Nuan dan Nain yang hanya dapat pangkat sersan satu dengan tugas
sebagai pelatih TKR bagi prajurit baru. Karena pangkatnya yang rendah, mereka
tidak berhak memakai kedua perangkat perwira yang bergengsi itu. Keduanya pun
sama merasa tidak mendapat perhatian Si Wati, gadis di sebelah rumahnya. Dan
ketika Komandan Pasukan Hizbullah, Kolonel Hasan, mengajak bergabung dengan
pangkat letnan dua, Nuan meninggalkan tugasnya dari TKR. Agar dapat pangkat
yang sama Nain pun bergabung dengan Tentera Merah Indonesia.
“Apalah arti perbedaan pasukan. Yang penting sama jadi letnan, sama
punya pedang samurai dan pakai kaplars.” kata mereka sambil menyangka Wati akan
mulai punya perhatian.
Kian lama bergabung dengan pasukan yang berbeda idiologi perjuangan
itu, malah menumbuhkan perseteruan diam dalam diri keduanya. Sekaligus
menimbulkan persaingan dalam merebut hati Wati. Akan tetapi belum ada yang
berani menebarkan jala untuk mendapat Wati. Nuan selalu bicara tentang perang
jihad bila bertandang ke rumah Wati. Sedangkan Nain bicara tentang revolusi rakyat.
Mereka pernah berdebat di depan Wati untuk membenarkan tujuan perjuangan
masing-masing. Tapi lebih sering datang sendiri-sendiri karena memang tidak
punya waktu senggang yang sama. Tentu saja pada kesempatan itu mereka saling
membanggakan pasukan masing-masing.
Nuan-lah yang akhirnya berhasil merebut Wati. Itu terjadi setelah
pemerintah melakukan kebijaksanaan rasionalisasi dengan menggabungkan seluruh
kesatuan pejuang ke dalam TNI. Oleh kebijaksanaan pemerintah itu, pangkat semua
perwira di luar TNI diturunkan dua tingkat. Nuan mendapat tugas baru sebagai
staf pada bagian logistik, sedang Nain dalam kesatuan tempur di front. Keduanya
tetap sama membanggakan tugasnya masing-masing kepada Wati, meski pedang
samurai dan kaplars tidak lagi berhak mereka pakai.
Ayah Wati berpandangan praktis dalam menenetapkan siapa yang akan jadi
jodoh anaknya. Katanya: “Perwira bagian logistik akan lebih menjamin kebutuhan
hidup rumah tanggamu. Sedangkan perwira di front lebih memungkinkan kau cepat
jadi janda.”
“Padahal engkau membalas ciumanku. Tapi Nuan yang kau jadikan suami.”
tempelak Nain kepada Wati.
“Apa dayaku, kalau ayah mau Nuan?” jawab Wati dengan nada yang memelas.
Nain sudah terlatih bersikap radikal, baik karena ikut Tentera Merah,
maupun lama di front, Wati dirangkulnya erat. Dan mereka bergumul dengan dada
masing-masing bergemuruh. Dan ketika akan melampaui tapal batas, Wati sadar
bahwa dia telah jadi isteri Nuan. Pergumulan pun reda. Semenjak itu mereka
tidak pernah bertemu lagi. Karena kesatuan Nain sering berpindah-pindah dari
satu pulau ke pulau lain yang dilanda kemelut militer akibat para perwira tidak
puas terhadap kebijaksanaan politik kemeliteran sehabis revolusi. Yaitu
menerima pasukan KNIL dengan kepangkatan yang utuh, tapi menurunkan pangkat dua
tingkat pasukan yang berjuangan.
Ketika kemelut militer berjangkit dalam bentuk peristiwa PRRI, sekali
lagi kesatuan Nain ditugaskan menumpasnya. Sedangkan Nuan yang ikut PRRI mundur
ke hutan. Tapi Wati tinggal di kota. Ketika Nain datang mendapati Wati, yang
ketika itu telah beranak dua, api dalam dada keduanya menyala lagi. Mereka
bergumul lagi. Berulang kali. Api dalam dada Nain bercampur aduk dendam antara
cinta tercuri dengan permusuhan idiologi dengan saudara kembarnya. Menurut
Wati, meski bernafsu dia hanya menjalaninya dengan perimbangan: daripada
melayani prajurit lain yang lagi mabuk kemenangan, lebih baik menerima Nain
yang sekaligus menjadi pelindung. Pikiran dan perasaan yang berancuan moral,
dia tekan jauh ke dalam lubuk hatinya. Bila mengambang menjadi jeritan, diredam
oleh keharusan berdamai dengan situasi.
Akhirnya setelah kalah perang, Nuan kembali bergabung ke TNI dengan
pangkat baru yang diturunkan lagi dua tingkat, menjadi pembantu letnan. Dia
bertatapan dengan Nain yang sudah kapten yang menang perang, dihadapan Wati.
Sebentar, ya, sebentar saja mereka sama terpaku saling memandang, lalu mereka
berangkulan sebagai dua orang saudara kembar. Tak berkata sepatahpun. Dan Wati
lari ke ruang belakang dan terus ke rumah sebelah. Lari dari keadaan yang tak
tertanggungkan bila meledak. Dia tak muncul lagi sampai kedua laki-laki itu
pergi.
Pada mulanya perasaan, lalu dugaan, akhirnya dia yakin bahwa antara
Wati dan Nain ada main. Hatinya luka, lalu dia marah dan kemudiannya benci yang
membuahkan dendam yang tidak akan terhapus. Tapi dia adalah prajurit yang
perangnya kalah. Yang kini menjadi pembantu letnan setelah pangkatnya
diturunkan oleh sejarah. Di sebelah sana adalah Nain, yang menjadi kapten
karena perangnya menang. Karena kemenangan itu dia meniduri Wati, isteri
saudara kembarnya.
“Khianat. Semuanya khianat.” teriaknya berulang-ulang.
Tapi dia seorang prajurit yang kalah perang. Apa yang dapat dilakukan
oleh orang kalah perang? Bagi Nuan tidak lain daripada selain kalah dan
seterusnya menerimanya tanpa dapat berbuat apa-apa, bahkan berpikir apapun.
Dengan perasaan itu dia menerima Wati kembali yang membawa kedua anak mereka.
“Wati toh perempuan yang dikalahkan sejarah.” katanya mendamai-damaikan
sisa gejolak di hatinya.
Tiba-tiba letak panggung sejarah berobah. Pemberontakan kaum komunis
pun pecah. Nain yang kapten dan baru diangkat jadi mayor ikut komunis. Kini
dialah yang dikalahkan. Ditangkap lalu dipenjarakan. Sesudut hatinya bersorak.
“Kamu rasakan kini menjadi orang yang kalah.” Tapi Nain adalah saudara
kembarnya yang lahir dari perut ibu yang sama. Jadi berbeda idiologi karena
berbeda kereta tumpangan yang disediakan sejarah. Haruskah membalas dendam
karena Wati ditiduri Nain, lalu meniduri Inna, isteri Nain, yang cantik dan
lebih muda, yang kini menumpang di rumahnya?
Tidak. Dia tidak dapat melakukannya. Inna adalah isteri saudara
kembarnya. Mengapa dia harus membalas dendam kepada saudara kembarnya sendiri
yang kini tengah mengalami siksa akibat idiologinya sendiri. Akan tetapi ketika
dia ingat Wati pernah mengkhianatinya, luka hatinya menganga. Ditinggalkannya
Wati yang lagi berbaring di sisinya. Dia pergi ke kamar Inna dengan nafsu
dendam yang menyala-nyala kepada Wati.
Namun Nuan hanya tegak termangu melihat Inna membuka baju sambil
tersedu. Lalu dia keluar sambil membanting pintu, menyusuri jalan raya yang
gelap karena listrik sudah lama mati oleh mesin sentralnya sudah lama rusak.
“Sudah lama sekali, ya, kita tidak ketemu?” kata salah seorang setelah
sama menopang dagu ke pagar geladak kapal sambil memandang ke gelombang laut
lepas.
“Ya, sudah lama sekali.”
“Tiba-tiba saja kita telah menjadi tua.”
“Meski begitu, kita tidak bisa betul-betul lupa.”
“Memang.”
Kayutanam, 6 Januari 1996