MENJELANG tengah malam di pondok perebus air nira,
udara dingin akan mengalah pada nyala api di tungku. Selain rungut
sekawanan kera mempergelutkan cabang tempat tidur, gelegak air nira
dalam kancah berebut dendang dengan suara yang ditimbulkan getar sayap
belalang di rimbun belukar. Bagi Yarman, pada saat-saat begini,
menyeruput tengguli bercampur santan dan menyantap sepotong ketela yang
matang dalam rebusan air nira belum terasa lengkap bila tanpa
menghidupkan radio National dua
band yang sengaja ia gantungkan di paku yang tertancap pada tiang pondok itu.
Akan terdengar decak kunyahnya; nikmat seruputan di rahangnya.
Aduhai, sembari menunggu gelegak tengguli sempurna menjadi gula merah,
Yarman menaruh radio itu di atas lututnya dan mengasyiki tombol pencari
gelombang. Sambil duduk menyandar ke dinding bambu, kepalanya menggeleng
ritmis.
Tubuhnya terasa begitu ringan mendengar cuap-cuap penyiar acara Kotak Pos
membacakan kartu dari sejumlah pendengar setia penjuru Nusantara.
Sebelum sebuah lagu kenangan diputar, suara serak milik penyiar acara
itu adalah suara yang dinanti-nanti Yarman. Dirinya seperti seorang yang
menunggu kehadiran, mungkin seorang sahabat, atau bahkan kekasih. Satu
dua isapan linting daun enau berdesis dari bibirnya. Tidak ada yang akan
tahu, kalau di dalam racikan tembakau yang dilintingnya dengan daun
enau itu dibubuhi sedikit daun ganja betina. Razia ganja mana pula
pernah sampai ke pondoknya yang terpencil di hulu Batangmaek.
Sebelum sebuah lagu selesai, Yarman akan menghayati aneka bayangan
yang melintas di alam hayalnya. Suatu saat, Ratna, si penyiar acara Kotak Pos
itu akan dicarinya. Yarman membayangkan, ia bertemu Ratna di sebuah
halte saat hujan deras turun. Ia berharap Ratna tak membawa payung,
sehingga mereka punya banyak waktu untuk bercakap-cakap.
Dan hujan akan ia seru untuk tidak berhenti. Saat itulah, kepada
Ratna akan diceritakannya perihal hujan yang sudah bertahun menyiksa
hatinya. Hulu Batangmaek, bukit paling sepi dari bujuran Bukitbarisan,
telah memaku takdirnya, sehingga tak sempat menyampaikan demikian banyak
keinginannya sebagai laki-laki. Ada sebuah keinginan yang tidak dapat
tidak akan diwujudkannya juga. Sebelum mata hidupnya ditutup dan
keinginannya yang banyak menyatu dengan angin dingin Batangmaek.
Akan dipaparkannya, betapa setiap kali ingat Ratna, ia selalu membuka
tempat khusus di jantungnya, sebuah lorong dengan bangku yang banyak.
Di tiap bangku itu ada adegan cerita tentang dia dan Ratna yang akan
berjumpa entah kapan. Pada bangku paling ujung, ada gambar yang selalu
membuat jantung Yarman melambung-lambung. Terlihat samar, di tengah
hujan yang tak kunjung reda, kepala Ratna jatuh ke bahu Yarman. Tapi,
wajah Ratna tidak begitu jelas. Kalau sudah sampai di situ, lamunan
Yarman akan buyar. Ia akan ditimbun pertanyaan, seperti apa gerangan
rupa perempuan bersuara serak itu? Pertanyaan inilah yang telah membuat
Yarman seperti ikan termakan umpan.
Terutama ketika Selasa malam beranjak jadi Rabu, saat hari pekan
benderang, di mana ia akan pergi ke pasar menjual gula merah. Uangnya
akan ia jadikan ongkos pergi ke kantor pos di Suliki. Sebelum itu ia
akan singgah dulu di Sialang, perkampungan pinggir Batang Sinamar,
tempat para pandai batu akik bertempat tinggal. Ia telah memesan batu
giok yang diikat dengan sebuah cincin bermotif rencong wajik.
Bila sudah waktunya dan cincin itu sudah selesai, akan dibawanya ke
Padang. Salah seorang kenalannya, Syaiful, penadah barang-barang bekas
di Padang sudah disuratinya. Tinggal menunggu balasan, apakah ia
bersedia mengantar menemui penyiar bersuara serak itu.
Bertahun sudah Yarman menjadi penggemar acara Kotak Pos yang
diasuhnya. Selama itu pula Yarman menyisakan uang hasil menjual gula
enaunya untuk ditabung. Ya, pada waktunya ia akan ke Padang,
merencanakan pertemuan dengan Ratna.
Demi keinginannya yang satu ini, seminggu sekali, ia sengaja pergi ke
kantor pos membeli kartu, perangko, dan beberapa buah amplop. Kadang ia
mendapat tumpangan sepeda motor oleh kenalannya yang kebetulan lewat ke
arah Suliki, tempat yang ia tuju. Tapi lebih sering ia naik bus
tiga-perempat yang pengap. Ikut berdesakan dengan pedagang sayur dan
sejumlah orang kampung yang akan pergi belanja ke Payakumbuh.
Kartu yang dibelinya seminggu sebelumnya sudah ditulisi dan segera ia
poskan. Sedangkan kartu pos yang akan dibelinya untuk persiapan minggu
berikutnya.
***
Semula, kartu pos itu hanya puluhan. Pelahan, beranjak jadi ratusan.
Hingga kini sudah ribuan. Dari sebanyak itu, ada satu kartu yang selalu
ingin ditandai Ratna. Kartu pos yang dikirim oleh salah seorang
penggemar acara yang diasuhnya, bernama Yarman.
Di kamarnya yang wangi, di laci meja kerja, Ratna menyimpan kartu pos kiriman Yarman yang tak pernah ia bacakan pada acara Kotak Pos
itu. Terbayang olehnya, jika suatu ketika ia diberi waktu yang lapang,
ia ingin sekali berlibur ke Kototinggi, kampung Yarman, si pengirim
kartu. Semula Ratna hanya menganggap cara Yarman sebagai tingkah iseng
seorang penggemar saja. Namun, setelah bulan-bulan berganti tahun, ia
selalu menerima kartu pos dari Yarman. Lama-kelamaan Ratna justru jadi
terbiasa bahkan tergantung pada cara Yarman yang unik. Kini, penasaran
telah menumpuk dalam kepala Ratna. Tulisan-tulisan Yarman dalam kartu
pos itu telah menggodanya untuk paling tidak sekali saja berkunjung ke
ceruk Bukitbarisan yang disebut-sebut Yarman sebagai tempat paling sepi
bagi seorang bujang.
Ratna selalu menerima kartu pos dari Yarman sebanyak dua lembar. Satu
untuk dibacakan, satu lagi berisi tulisan Yarman yang ditujukan kepada
Ratna. Ada yang berupa cerita singkat tentang udara perbukitan di
Kototinggi yang sejuk. Sejumlah lembah, tempat yang sejak dahulu sering
jadi tempat persembunyian para pemberontak. Dari sana, ada jalan setapak
yang tembus ke Bonjol. Di sana, dulu, Belanda menugaskan tentara
mengawal para penambang emas.
Ada pula yang berbentuk puisi: ungkapkan ketakjuban Yarman mendengar
suara Ratna ketika siaran. Tentang betapa ia suatu saat akan menaklukkan
waktu, keluar dari kesibukannya sebagai petani nira dan bergabung
dengan kesibukan kota. Satu yang pasti, ia akan ke Padang mencari Ratna.
Katanya, bertemu dengan Ratna adalah obat dari sakit sepi yang bertahun
diidapnya.
***
Yarman menyetel gelombang radionya dari berita ke lagu dangdut. Dari
lagu dangdut ke lagu pop. Tapi, masih ada yang terasa belum sempurna.
Sudah tiga minggu acara Kotak Pos yang ditunggu-tunggunya tidak disiarkan. Ini minggu keempat. Yarman tak habis bertanya, kenapa acara Kotak Pos
tidak ada lagi? Jelas saja, ada yang hilang. Tidak ada lagi suara serak
Ratna. Cerita dan kiriman salam dari sahabat-sahabatnya yang jauh
seakan raib dimakan angin yang berkisar di Bukitbarisan. Yarman
berpikir, jika selamanya begini, hal yang mesti ia persiapkan adalah
mendamaikan gejolak keinginannya berangkat ke Padang. Jika acara Kotak Pos tidak ada lagi, pertemuan dengan Ratna tidak akan lebih dari kesiur mimpi yang konyol? Yarman merasakan dirinya sangat bodoh.
Ketakutan Yarman terjadi juga. Acara Kotak Pos sudah
ditiadakan pihak radio. Penggemar acara ini makin sedikit. Orang-orang
kini malas ke kantor pos. Orang-orang lebih suka mengirim pesan singkat
melalui telepon genggam. Yarman menggigil ketika pemberitahuan tentang
peniadaan acara Kotak Pos diumumkan. Penyiarnya dipindahkan ke program lain.
Meski masih bisa mendengar suara Ratna, kadang membaca berita, kadang
mengiringi pemutaran lagu-lagu melayu, Yarman merasakan ada yang
terputus antara dia dan Ratna. Ratna tidak lagi menyebut namanya. Ratna
kini telah sombong.
Ia coba juga mengusir kegaduhan di pikirannya dengan mengisap
lintingan daun enau yang sudah dibubuhi daun ganja betina seperti biasa
ia lakukan di kesendiriannya. Sisa kartu pos yang sudah dibelinya ia
tulisi dengan kalimat-kalimat aneh. Ada yang bernada kecaman pada waktu
dan keadaan. Ada pula tentang rasa ngilu yang menusuk-nusuk sanubarinya
setiap mendengar suara Ratna yang telah mengacuhkannya. Pada sebuah
kartu pos yang bermotif kembang, ia tulis keluhannya tentang
pergunjingan orang-orang kampung yang penasaran, mengapa di usia yang
mendekati empat puluh, ia belum juga beristri. Dan pada kartu pos yang
terakhir, ia tulisi tentang tekadnya untuk ke Padang. Jika pun bukan
untuk menemui Ratna, ia akan mencoba bekerja.
***
Pada edaran waktu yang sama, sepuluh bulan kemudian, di Padang,
sekitar dua ratus kilometer dari Batangmaek, peristiwa yang lain
terjadi. Ratna mondar-mandir di dalam kamarnya yang wangi. Kartu pos
kiriman Yarman yang disimpannya dalam laci meja tidak ada lagi. Ia sudah
membongkar hingga ke balik lemari, siapa tahu ia sempat memindahkannya,
atau tanpa sengaja terjatuh dan terselip di sana. Sejak delapan bulan
menikah ia telah mengubah tata letak kamarnya. Barang-barang suaminya
yang pegawai kantor pos lumayan banyak, sehingga harus disesuaikan
dengan kondisi kamar.
Saat ia terpaksa jongkok memeriksa lemari, suaminya datang dengan mimik penuh perhatian.
“Sayang, jangan jongkok begitu. Kandunganmu bisa terganggu. Mencari apa? Sini, uda bantu,” bapak janin dalam kandungan Ratna itu meraih bahu Ratna dan mengajaknya berdiri.
“Koleksi kartu pos Ratna hilang. Padahal itu kiriman dari sahabat terbaik Ratna….” Tampak sesal di wajah Ratna.
“Sayang. Maaf, ya, kemarin uda membereskan arsip-arsip untuk
disimpan di gudang. Termasuk kartu-kartu pos itu. Sudah, lupakan saja.
Sekarang kita istirahat, yuk. Besok kita cari. Sudah malam,” lelaki
berkumis itu mendengus saat memeluk Ratna dari belakang. Ia sangat
mengerti, sejak hamil, Ratna sering berlaku aneh, manja, dan banyak
kehendaknya.
Kemarin itu, ia ingat kalau tak lama lagi anak pertamanya akan lahir.
Maka itu ia sengaja menata kamar tersebut menjadi lebih lapang. Ia
kumpulkan seluruh arsip dan menjualnya ke pemulung kertas yang sering
berkeliling dengan becak di kompleks perumahan. Karena tidak mau
istrinya kecewa, ia berbohong dengan mengatakan kartu itu masuk ke dalam
tumpukan arsip di gudang. Tapi raut wajah Ratna terpana, tidak lega.
Bulatan matanya berputar-putar dan kerut antara dua alisnya begitu
jelas.
Pikiran Ratna tetap tak beralih dari kartu-kartu pos yang ingin
dibacanya. Malam itu juga ia minta suaminya mengambil kartu-kartu itu
kembali dari gudang. Tetap saja, suaminya berkilah, kalau sudah larut
malam dan sebaiknya kartu-kartu itu dicari esok hari saja. Ratna
sebenarnya tidak bisa menerima. Tapi, apa boleh buat, ia sadar, harus
lebih mengutamakan kandungan dan memilih untuk istirahat.
***
Pada malam yang sama, di salah satu sudut Kota Padang yang mulai
hening, Yarman menekuri dirinya. Ia rasakan betapa waktu memang tajam.
Sejak acara Kotak Pos ditiadakan, ia telah kehilangan tempat
berhibur. Hari-hari terasa melilitnya seperti jaring jala mengurung
ikan. Semangat bekerjanya pun seakan tersedot oleh tenaga yang ia
sendiri tidak tahu berasal dari mana. Satu hal yang sangat ia sadari,
kalau pikirannya tetap tersangkut pada kartu-kartu pos yang tidak lagi
pernah ia kirim. Juga tentang Ratna yang telah sombong.
Namun setelah seminggu di Padang, ia belum juga bisa mewujudkan
keinginannya itu. Tinggal bersama sahabatnya, Syaiful, mengantarkan
kesadarannya kepada hal yang lain. Melihat sahabatnya itu bekerja
sebagai penadah barang-barang bekas, nyalinya untuk ikut membantu
seketika bangkit. Semula, ia sengaja meninggalkan batang-batang enau dan
pondok ladang dengan radio National dua band yang selalu
tergantung di tiang itu, demi keinginan bertemu Ratna. Kini, terlintas
di pikiran untuk ikut membantu Syaiful, sekaligus mencoba mengais rezeki
sekadar untuk biaya hidup selama di Padang. Keinginan bertemu Ratna
sengaja ia tekan. Ia tahan. Dan, jika dapat, akan ia lupakan.
Ya, malam yang sama, di saat Ratna sudah tertidur di sisi suaminya,
Yarman tersandar di tumpukan kertas di gudang penyimpanan Syaiful,
mematut-matut cincin permata giok bermotif rencong wajik yang
sudah lama diniatkan sebagai hadiah untuk Ratna. Sejak datang di Padang,
Yarman memang sering termenung di situ, sebelum kantuk tiba dan
merebahkan badan di atas busa yang tidak jauh dari tumpukan kertas itu.
Entah mengapa pula, Yarman merasa nyaman meringkuk di atara tumpukan
kertas bekas itu. Dirinya seolah ditimbun cerita-cerita yang tersimpan
di dalam aksara yang tertulis di sana.
Di remang cahaya lampu, ia periksa beberapa lembar kertas yang
terserak begitu saja ke lantai. Ia bolak-balik satu-dua lembar.
Jantungnya mendingin. Ngilu. Jemarinya menangkap selembar kartu pos. Ia
dekatkan ke arah lampu. Antara percaya dan tidak percaya, ia ambil dan
periksa lembar-lembar yang lain.
Tidak salah lagi, kartu-kartu pos itu adalah kartu-kartu yang dulu pernah dikirimnya untuk acara Kotak Pos
yang diasuh Ratna. Duh! Ia kumpulkan semua. Ia bawa ke tempat ia biasa
tidur. Napasnya memburu. Tak sabar menunggu siang tiba. Sebab, ada sakit
di jantungnya. Bila matahari sudah terbit esok hari, ia akan pamit pada
Syaiful. Ia akan pulang, kembali ke Kototinggi membawa kartu-kartu pos
itu.
Barangkali, bila ada kesempatan, kartu-kartu pos itu akan ia kirim lagi ke radio tempat Ratna bekerja, sekalipun acara Kotak Pos
sudah tidak ada dan suara serak Ratna hanya terdengar pada acara yang
lain. Atau, bila tidak ada lagi kesempatan, kartu-kartu itu, juga cincin
permata giok itu, akan disimpannya sendiri, mungkin di pondoknya,
diikatkan pada radio National dua band kesayangannya. (*)
Sungai Naniang-Padang, 2009-2010
Zelfeni Wimra, lahir di
Sungainaniang, Luak Limopuluah Koto, Minangkabau, 26 Oktober 1979.
Sutradara Teater Cabang, juga bergiat di Magistra Indonesia dan C2RS.
Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit Pengantin Subuh (2009).