"Seandainya tak kutinggalkan kepahitan dan kebencianku, aku akan tetap terpenjara," itulah kicauan Goenawan Mohamad (GM) pagi tadi di Twitter, mengutip ucapan Nelson Mandela, yang baru saja wafat.
GM, biasa ia disapa, memang dikenal memiliki intensi khusus pada sosok mantan Presiden Afrika Selatan itu. Begitu mendengar Mandela tiada, GM segera membatalkan janjinya untuk 'kultwit' tentang filsuf Prancis Albert Camus dan komunisme.
"Maaf. Saya sudah akan mulai cerita tentang Camus dan komunisme siang ini. Tapi ternyata hari ini saya harus riset untuk Catatan Pinggir tentang Mandela," kicau GM lagi.
GM, biasa ia disapa, memang dikenal memiliki intensi khusus pada sosok mantan Presiden Afrika Selatan itu. Begitu mendengar Mandela tiada, GM segera membatalkan janjinya untuk 'kultwit' tentang filsuf Prancis Albert Camus dan komunisme.
"Maaf. Saya sudah akan mulai cerita tentang Camus dan komunisme siang ini. Tapi ternyata hari ini saya harus riset untuk Catatan Pinggir tentang Mandela," kicau GM lagi.
Belakangan GM memang sedang gencar dituding sebagai 'makelar'
kebudayaan liberal berbasis eksistensialisme Camus oleh kalangan kiri,
utamanya setelah terbitnya buku 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' karya
Wijaya Herlambang.
Soal Mandela, pada tahun 2000 silam, GM juga pernah meminta sastrawan kiri, Pramoedya Ananta Toer , untuk bersikap seperti revolusioner anti-apartheid itu. Ketika Bung Pram masih hidup, GM pernah menganjurkannya menerima permintaan maaf Presiden Gus Dur kala itu, atas kekerasan negara (Orde Baru) terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan siapapun dicap sebagai komunis.
GM meminta Bung Pram, yang 15 tahun dipenjara Orde Baru karena tudingan komunis, untuk menerima permintaan maaf Gus Dur , seperti Mandela memaafkan rezim apartheid yang telah memenjarakannya selama puluhan tahun.
"Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek," tulis GM lewat surat terbuka kala itu.
Tetapi, permintaan GM itu tegas ditolak Bung Pram. Juga lewat surat terbuka, sastrawan penerima Ramon Magsaysay Award pada 1995 itu membalas: 'Saya Bukan Nelson Mandela'.
"Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia," tulis Bung Pram yang wafat 30 April 2006 pada umur 81 tahun, atau 6 tahun setelah surat ditulis.
"Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi," lanjut Bung Pram.
Bagi Bung Pram, yang bukan basa-basi adalah tegaknya hukum, dalam artian hukuman setimpal bagi mereka yang menghabisi bangsanya sendiri. Dalam buku 'Dalih Pembunuhan Massal' yang pernah dilarang Orde Baru, John Rossa menyebutkan, sekitar 500.000 sampai 3 juta nyawa harus mati sia-sia karena sebuah keyakinan politik di tahun 1965.
"Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi," tulis Bung Pram.
"Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia," imbuhnya.
Soal Mandela, pada tahun 2000 silam, GM juga pernah meminta sastrawan kiri, Pramoedya Ananta Toer , untuk bersikap seperti revolusioner anti-apartheid itu. Ketika Bung Pram masih hidup, GM pernah menganjurkannya menerima permintaan maaf Presiden Gus Dur kala itu, atas kekerasan negara (Orde Baru) terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan siapapun dicap sebagai komunis.
GM meminta Bung Pram, yang 15 tahun dipenjara Orde Baru karena tudingan komunis, untuk menerima permintaan maaf Gus Dur , seperti Mandela memaafkan rezim apartheid yang telah memenjarakannya selama puluhan tahun.
"Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek," tulis GM lewat surat terbuka kala itu.
Tetapi, permintaan GM itu tegas ditolak Bung Pram. Juga lewat surat terbuka, sastrawan penerima Ramon Magsaysay Award pada 1995 itu membalas: 'Saya Bukan Nelson Mandela'.
"Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia," tulis Bung Pram yang wafat 30 April 2006 pada umur 81 tahun, atau 6 tahun setelah surat ditulis.
"Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi," lanjut Bung Pram.
Bagi Bung Pram, yang bukan basa-basi adalah tegaknya hukum, dalam artian hukuman setimpal bagi mereka yang menghabisi bangsanya sendiri. Dalam buku 'Dalih Pembunuhan Massal' yang pernah dilarang Orde Baru, John Rossa menyebutkan, sekitar 500.000 sampai 3 juta nyawa harus mati sia-sia karena sebuah keyakinan politik di tahun 1965.
"Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi," tulis Bung Pram.
"Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia," imbuhnya.
Sumber: http://www.merdeka.com/