I. Pendahuluan
Ketika kita membicarakan pengaruh
kesusasteraan asing dalam kesusasteraan Indonesia maka kita harus melihat vista
sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa kini. Sebagai langkah awal,
pandangan harus kita layangkan jauh ke belakang ke masa Hamzah Fansuri mula
bersyair dan bernazam. Atau ke zaman Nurrudin Ar-Raniri ketika melahirkan
Bustanul Sallatin (Taman Raja-Raja) dan Bustanul Katibin (Taman ). Hasil
kesusastraan di zaman ini lebih sering disebut oleh sarjana sastra
Indonesia-Melayu sebagai bagian dari sastra lama Indonesia dan dilanjutkan
dengan sastra baru (modern) Indonesia yang dimulai sejak munculnya percetakan
di Hindia Belanda dan diramaikan oleh kelompok Pujangga Baru tetapi sudah lebih
dahulu dipelopori oleh penulis Tionghoa Peranakan yang mula pertama
memperkenalkan cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern.
Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama ini sudah
dimulai sejak abad ke-16 di zaman Hamzah Fansuri, Nurrudin Arraniri,
Syamsuddin-Al Sumatrani, hingga periode para wali di Jawa yang banyak
menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di Jawa jauh sebelum
Islam masuk pun sudah memiliki karya sastra kakawin yang mendapat
pengaruh dari India. Kesusastraan asing yang paling berpengaruh dalam
kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab dan Parsi (Persia)
sebagaimana sudah disebutkan di atas. Jejaknya itu dapat kita baca pada
naskah-naskah lama yang ditulis dalam aksara Arab Melayu dan tersebar luas
hingga ke seluruh wilayah Nusantara. Karya-karya sastra dari Arab dan
Parsi ini sangat banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu serta meninggalkan
bentuk hikayat, syair, gazal, rubai, gurindam, masnawi, dan barzanzi
dalam khazanah sastra Indonesia lama.
Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan di
Indonesia, pengarang Indonesia modern yang dimulai oleh penulis Cina
Peranakan masih menulis syair dan pantun dalam karya cetak. Namun, pada
tahun 1912, sudah mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam buku cerita Warna
Sari di Surabaya. Cerita pendek yang dimuat berjudul “Si Marinem” karya
H.F.R. Kommer dan ditulis dalam ragam bahasa Melayu rendah, (Sastri, 2012).
Pada masa Angkatan Pujangga Baru perkenalan para penulis dan pembaca
karya sastra dengan karya-karya sastra Eropa khususnya Belanda semakin mudah
diperoleh baik melalui buku pelajaran dis ekolah maupun melalui karya saduran.
Jika sebelumnya karya sastra asing seperti Arab dan Parsi diperoleh melalui
hubungan perdagangan maka karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan
di masa Hindia- Belanda.
Pada zaman Jepang, pengaruh kesusasteraan asing
seperti Jepang tidak terlalu banyak berarti dalam kesusastraan Indonesia. Hal
ini disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang dan tidak adanya upaya
penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia pada saat itu.
Upaya-upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia justru
baru dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’sruf menerjemahkan novel Yukiguni
karya Yasunari Kawabata ke dalama versi Indonesia yang berjudul Negeri
Salju. Selanjutnya karya sastra Jepang mulai banyak dikenal dalam versi
terjemahan Indonesia berkat bantuan Japan Foundation dan Toyota Foundation,
Toshiki dkk (2009: 205). Puisi-puisi pendek Jepang (haiku) yang sangat
terkenal itupun mulai tampak dalam karya sastra Indonesia melalui beberapa
sajak pendek Sapardi Djoko Damono yang ditenggarai terpengaruh oleh haiku
ketika ia bermukim di Jepang.
Sesudah kemerdekaan tepatnya pada tahun 1960-an
pengaruh kesusastraan asing dalam karya sastra Indonesia lebih disebabkan
karena pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Sovyet. Hal itu dapat kita
temukan pada karya-karya para penulis Lekra yang banyak menerjemahkan karya
sastra Rusia yang beraliran kiri.
II. Jejak Kesusastraan Parsi dan India
dalam Kesusastraan Indonesia Lama
Boleh dikatakan bahwa karya Hamzah Fansuri yang
sangat terkenal yakni Hikayat Burung Pingai ditenggarai oleh beberapa
ahli mendapat pengaruh dari karya sastra Parsi yang berjudul Manttiq
at-tayr (Percakapan Burung-Burung). Demikian juga karya-karya
Hamzah Fansuri yang lain sebagaimana yang dicatat oleh Al-Attas (1970)
memperlihatkan pengaruh puisi sufi dari Parsi. Diantara karya-karya Hamzah yang
terpenting itu adalah Syarab al-Asyikin (Anggur Orang-Orang Pengasih), Asrar
al-arifin (Rahasia Orang-Orang Arif), dan Al- Muntahi (Sang Ahli Ma’rifat).
Karya yang terakhir ini merupakan kutipan dari lusinan penyair Parsi yang
ternama seperti Attar, Rumi, Iraqi, Shabistari, Shah Ni’matullah, Maghribi, dan
lain-lainnya.
Persinggungan negeri-negeri di bawah angin dengan
pedagang-pedagang Arab dan Parsi pada masa lampau yang berdagang hingga ke
Pansur memungkinkan juga dibawanya karya-karya sastra Arab dan Parsi ke wilayah
Nusantara. Sehingga kita dapat pula melihat jejak kesusastraan Parsi itu
pada puluhan karya sastra Indonesia lama lainnya sebagaimana pernah disampaikan
oleh Braginsky (2009: 59-102). Ia mencatat diantara karya Parsi yang sangat
dikenal di Indonesia adalah Hikayat-i Muhammad-i Hanafiyah, Qissa-i Amir
Hamzah, Hikayat Indraputra, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Nur
Muhhammad. Sebelumnya Djamaris (1983) menjelaskan pula bahwa Hikayat Nur
Muhammad ini ditenggarai terpengaruh dari salah satu bab kitab Rauzat
al- Ahbab (Taman Sorga Para Pengasih) karya Attaullah ibn Fazlullah
dari karya penulis Parsi. Selain itu, kita juga mengenal cerita berbingkai
seperti Hikayat Kalilah dan Dimnah (Kalila wa-Dimna), Hikayat Bayan Budiman
(Tuti-nama) yang semuanya berasal dari Parsi.
Pengaruh kesusastraan India terhadap karya
sastra Indonesia dapat kita temukan pada karya sastra Hikayat Seri Rama,
Ramayana, Mahabarata, Hikayat Panji, Hikayat Cekel Weneng Pati, Barathayudha,
dan kakawin Arjunawiwaha. Bahkan dalam tradisi pewayangan Jawa,
kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana sudah diadaptasi menjadi
karya sastra Jawa dan merupakan kisah pewayangan yang sudah dianggap sebagai
kebudayaan adiluhung bangsa Jawa dan menjadi bagian dari sistem nilai
orang Jawa.
III. Jejak
Kesusastraan Eropa pada Kesusastraan Indonesia Modern
Ketika percetakan mulai masuk ke Hindia
Belanda, kesusastraan asing semakin mudah diakses oleh kaum terpelajar bumi
putra. Kehadiran buku-buku sastra dunia ditemukan dengan mudah dan menjadi
bahan bacaan yang disampaikan di sekolah-sekolah Belanda pada masa lalu. Sebelum
periode Balai Pustaka, kita telah mengenal sebuah karya yang fenomenal dari
Multatuli yang berjudul Max Havelaar. Sastrowardojo (1989:138)
menyebutkan bahwa karya Multatuli ini pernah diakuinya mendapatkan ilham dan
pengaruh setelah membaca Pondok Paman Tom (Uncles’s Tom Cabin)
karya Beecher Stowe yang terkenal itu. Penerjemahan cerita pendek Eropa dalam
surat kabar awal di Hindia Belanda yang dilakukan oleh penulis Indo-Eropa
maupun Cina Peranakan dan Pribumi turut berkontribusi dalam masuknya pengaruh
bacaan Eropa dalam kesusastraan Melayu-Indonesia pada masa itu. Salah satunya
adalah masuknya genre cerpen seperti yang telah disinggung di atas.
Pengaruh karya sastra penulis Belanda seperti de
Tachtigers ‘Angkatan 1880’ pada pengarang Pujangga Baru salah sasatu
faktor yang memudahkan masuknya pengaruh karya sastra Eropa dalam kesusastraan
Indonesia modern, (Teeuw,1980). Salah seorang penyair Pujangga Baru Indonesia
yang sangat terpengaruh dan memuja penyair Tachtigers Belanda adalah
J.E Tatengkeng. Ia menulis sajak-sajak relijiusnya dengan mengacu pada gaya
kepenulisan Frederik van eeden dan Willem Kloos dari Belanda seperti sajaknya
yang berjudul KataMu Tuhan. Bahkan sebagai wujud kekagumannya pada
penyair Belanda tersebut, Tatengkeng pernah menulis satu sajak yang khusus
ditujukan kepada Willem Kloos, (Sunarti, 2012). Jika Tatengkeng memuja
penyair Belanda maka Sanusi Pane adalah salah seorang pengarang Angkatan
Pujangga Baru yang mengagumi karya sastra pujangga India Rabidranath Tagore dan
pernah menulis adaptasi cerita Gitanjali ke dalam bahasa Indonesia.
Merari Siregar juga melakukan hal yang sama yakni pernah menyadur karya sastra
Belanda ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tjerita si Djamin dan Si
Djohan (1918). Karya ini disadur dari roman Jan Smees karya
Justus van Maurik (Teeuw,1994:142-172). Selanjutnya Teeuw menjelaskan dengan
panjang lebar mengenai kedua roman ini dan bagaimana cerita ini bisa disadur
oleh Merari Siregar menjadi versi Indonesia dengan latar cerita, nama
para tokohnya disesuaikan dengan kondisi di Hindia-Belanda pada masa itu.
Pengaruh komisi bacaan rakyat (Balai Pustaka) juga ikut menjadi andil bagi
penyaduran cerita ini menurut Teeuw.
Satu pengaruh yang negatif dari proses
sadur-menyadur karya asing ke dalam bahasa Indonesia ini adalah munculnya
polemik terhadap karya sastra hasil saduran itu dengan tudingan sebagai karya
plagiat. Kasus itu muncul pada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck
(1938) karya Hamka. Sebagai pengarang yang banyak membaca karya-karya sastra
dalam bahasa Arab, Hamka sangat mengagumi karya seorang penulis Mesir yang
bernama Mustafa Lutfi al-Manfaluthi yang hidup dari tahun 1876-1942. Penulis
dari Mesir ini pernah menerbitkan sebuah novel saduran dari Perancis yang
berjudul Magdalena yang diberinya judul dalam bahasa Arab Madjulin.
Ketika novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengalami cetakan yang
ke-7, seorang penulis bernama Abdullah S.P. menulis tudingan bahwa karya Hamka
menjiplak karya saduran Al- Manfaluthi. Karya saduran dari Al-Manfaluthi kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Berapa bagian dari karya itu setelah
dibandingkan dengan karya Hamka ternyata memang memiliki persamaan, akan tetapi
menurut Teeuw (1980:105) persamaan itu bisa timbul karena penerjemahan ke dalam
bahasa Melayu dan jelas karya Hamka memiliki isi yang sama sekali berbeda
dengan karya saduran Al-Manfaluthi tersebut. Bahkan ada kesan novel
Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan semi otobiografi dari
penulisnya yang berbeda sama sekali dengan akhir dari novel Madjulin
yang disadur oleh Manfaluthi.
Masalah yang sama dengan Hamka juga pernah
dihadapi oleh Chairil yakni dituduh sebagai plagiat ketika melakukan penyaudran
karya asing ke bahasa Indonesia. Chairil pernah dituduh melakukan plagiarisme
atas karyanya yang berjudul Krawang-Bekasi. Hal ini disebabkan karena
minat Chairil yang sangat tinggi terhadap karya penyair Eropa, khususnya
Belanda seperti Slauerhoff, Marsman, dan Rilke dan kemudian amat
mempengaruhi sajak-sajaknya. Akibatnya salah satu sajaknya dianggap menjiplak
karya Slauerhoff yakni sajak Krawang Bekasi. Tudingan ini tidak
dapat dibuktikan. Tetapi karena tuntutan ekonomi, tindakan plagiarisme memang
pernah dilakukan oleh Chairil pada beberapa tulisan yang lain dan bukan sajak Krawang-Bekasi
yang otentik milik Chairil. Malah pengucapan puitik Chairil dianggap memiliki
nilai-nilai baru dalam struktur dan pilihan katanya yang sama sekali berbeda
dan bahkan dianggap lebih baik dari sajak-sajak penyair Belanda yang
disadurnya.
Pengaruh asing dalam sajak-sajak Chairil dapat
juga kita temukan pada isi sajaknya misalnya, pada kata ahasveros dan sisipus
yang menggambarkan pengetahuannya mengenai kebudayaan Eropa. Beberapa diksi
dalam sajaknya juga tidak terlepas dari pengaruh kata-kata Belanda seperti
baris sajaknya yang berbunyi: Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Semangat individualisme yang masih asing pada masa Chairil menulis juga menjadi
ciri pembeda sajaknya dengan pendahulunya seperti Amir Hamzah yang masih kuat
terikat pada pantun dan syair serta bahasa Melayu lama yang mengacu pada
gaya penulisan Hamzah Fansuri. Kedua sastrawan ini mewariskan syair dan
pantun sebagai bagian puisi lama yang banyak sekali dipakai di awal kehadiran
sastra Indonesia baru. Gaya ini kemudian ditinggalkan sama sekali oleh Chairil
Anwar dalam sajaknya sehingga ia dianggap sebagai tokoh pendobrak zaman lama
tersebut.
Keahlian Chairil melakukan penyaduran sajak-sajak
asing ke dalam bahasa Indonesia juga diakui oleh kritikus sebagai karya saduran
yang baik seperti yang dilakukannya pada sajak Huesca karya Jhon
Cornford dari Amerika Serikat dan pada tahun 1967 sajak yang sama diterjemahkan
oleh Taslim Ali dengan judul Sajak.
Sesudah Chairil Anwar tiada, pengaruh
kesusastraan asing pada karya sastra Indonesia semakin dipertajam melalui
beberapa karya penyair Indonesia modern yang nota bene mendapat pendidikan
Barat. Sapardi (1983:5) menyebutkan beberapa nama pengarang Indonesia yang
karyanya memperlihatkan pengaruh asing (Sastra Barat) seperti Pramoedya Ananta
Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, W.S.
Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo. Tetapi saya lebih cenderung memberikan
pilihan lain yang tidak disinggung oleh Sapardi dalam tulisannya itu.
Diantaranya adalah karya-karya Subagio Sastrowardojo, Goenawan Moehammad,
Darmanto Jatman, WS. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono sendiri.
Pengaruh asing pada karya Subagio Sastrowardoyo
seperti terlihat dalam esei dan sajaknya. Karyanya itu memperlihatkan kuatnya
nilai-nilai Katolik yang menjadi argumen dasar dalam tulisannya. Pada Goenawan
Mohammad sajak-sajaknya memperlihatkan pergulatan untuk menjadi penyair yang
hendak lepas dari nilai tradisi. Pengaruh asing pada karyanya lebih pada
tataran ide dan bukan bentuk. Isi sajaknya menggambarkan hubungan personal yang
sangat luas dengan tokoh dan penyair dunia sehingga kita menemukan penggalan
kisah yang menggambarkan pertemuan Goenawan dengan tokoh-tokoh dunia dan
tempat-tempat asing yang disinggahinya. Namun, berbeda dengan Chairil yang
menulis puisi sebagai upaya pemberontakan terhadap bentuk dan struktur puisi
Indonesia lama, sebaliknya Goenawan dengan sadar memanfaatkan rima-rima pantun
dalam sajaknya untuk memperlihatkan “pertemuan” tradisi dan budaya luar yang
dikenalnya. Semakin modern cara berfikir seseorang seperti Goenawan ternyata
semakin sadar ia akan jatidiri dan identitasnya sebagai penyair yang tidak
mungkin melepaskan diri dari akar budayanya. Sehingga lahirlah tafsiran baru
atas nilai-nilai tradisi dalam wujud sajak modern seperti Gatoloco,
Pariksit, dan Persetubuhan Kunthi. Kita juga akan menemukan
semangat dunia dan kosmopolitan dalam sajak-sajaknya yang memperlihatkan
kecenderungannya pada persoalan sosial dan politik di Indonesia. Hal itu dapat
kita lihat pada sajaknya yang berjudul Internationale dan sajak Permintaan
Seorang yang Tersekap di Nanking, Selama Lima Tahun itu (untuk Agam
Wispi). Sajak itu disampaikan dengan semangat puitika barat yang tidak mudah
dipahami oleh pembacanya di Indonesia.
Pernah pada satu masa, penyair WS.
Rendra, sangat menyukai menulis sajak dalam bentuk balada. Sebagai contoh bisa
kita temukan pada sajaknya yang berjudul “Bersatulah Para Pelacur Ibukota”,
Ballada Atmo Terbunuhnya Atmo Karpo”, Ballada Anak Mencari Bapa”, Ballada Suku
Naga” dan lainnya. Bdentuk balada atau ballade dalams ajak-sajak
Rendra tersebut memperlihatkan pengaruh kesusastraan asing khususnya pengaruh
dari karya-karya balada penyair Federico Garcia Lorca yang banyak diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia pada tahun-tahun 1950-an. Sebagaimana disampaikan
oleh Sapardi (1983:5) seperti pernyataannya di bawah ini.
“Periode sesudah perang membukakan pintu
lebar-lebar bagi hampir semua arus penting dalam perkembangan sastra asing.
Kalau sebelum perang arus yang masuk disaring oleh Bahasa belanda, tahun-tahun
sesudah perang dan 50-an membiarkan bahasa Inggris—bahasa yang jauh lebih
luas jangkauannya—memperkenalkan berbagai corak perkembangan sastra dunia
secara sekaligus. Nama-nama besar yang boleh dikatakan tidak pernah terdengar
sebelumnya, tiba-tiba saja menjadi bahan pembicaraan di majalah-majalah dan di
dalam diskusi-diskusi: Jean Paul Sastre, Franz Kafka, Albert Camus, James
Joyce, William Faulkner, Premchand, Eugene O’Neill, Boris Pasternak, Federico
Garcia Lorca, Ezra Pound, Yukio Mishima, dan sederet panjang lagi yang berasal
dari berbagai negeri dan zaman. Dan muncul pulalah karya-karya penulis fiksi
dan penyair seperti Pramoedya Ananta Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang,
Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo; dan
karya-karya mereka itu sering lebih mudah dikerabatkan dengan karya sastra
asing tinimbang dengan karya yang pernah ditulis di negeri ini sebelumnya.”
Demikian pendapat Sapardi terhadap karya beberapa
penulis Indonesia yang dianggapnya mendapat pengaruh asing dalam karya mereka.
Pada Darmanto Jatman, pengaruh kesusastraan asing terutama Inggris terlihat
pada kumpulan sajaknya Bangsat. Di sini Darmanto telah mencapai gaya
pribadi sendiri dan ia tidak terlepas dari pengaruh sajak-sajak Inggris yang
umumnya bercorak arif (sophisticated), cendikia (intellectual),
dan jenaka (witty). Dengan mengambil gaya pengucapan yang demikian,
Darmanto telah meninggalkan suasana romantik saja-sajak yang menjadi ciri umum
persajakan Indonesia, (Sastrowardoyo, 1989:206).
Pada sajak-sajak Sapardi, pengaruh kesusastraan
asing itu dapat dilihat bukan hanya pada struktur luar (bentuk) saja melainkan
juga pada isisajaknya. Pengaruh kesusastraan asing terekam dalam sajak-sajak
awalnya yang memperlihatkan struktur Haiku ‘sajak-sajak pendek’
Jepang. Sweeney dalam percakapan langsung dengan penulis pernah mengomentari
bahwa Sapardi sesungguhnya menulis puisi barat tetapi menggunakan bahasa
Indonesia. Sastrowardoyo (1989: 191) melihat sajak-sajak Sapardi terutama
dalam antologi Mata Pisau secara keseluruhan boleh dikata bertolak
dari perntanyaan tentang makna dan tujuan akhir dari hidup. Pertanyaannya itu
bersentuhan dengan masalah dasar yang pernah dirumuskan oleh Paul Gauguin waktu
melukis di Haiti. Pada sebuah kanvas yang besar—yang disangkanya akan merupakan
lukisannya yang terakhir sebelum pelukis Perancis itu berniat menghabisi
nyawanya sendiri—dibubuhkannya judul berupa pertanyaan “ dari mana kita datang?
Siapakah kita? Kemana kita pergi?” Kesadaran akan masalah hidup yang inti itu
biasanya timbul dalam kemelut, suatu situasi krisis yang bisa dialami suatu
kelompok masyarakat atau manusia orang-seorang. Pertanyaan-pertanyaan yang
menyangkut pangkal-pangkal hidup yang pernah menghantui jiwa Gauguin itu, telah
melahirkan sajak-sajak Sapardi dalam Mata Pisau.
Penutup
Pengaruh asing pada karya sastra Indonesia
merupakan hasil sintesa pergaulan dan pergulatan para pujangga dan penyair
Indonesia dari masa ke masa. Hal ini juga menunjukan keluasan pengetahuan dan
minat penulis Indonesia terhadap karya sastra dunia. Pengaruh asing pada
kesusastraan Indonesia (Melayu Nusantara) sejak dulu hingga kini dapat terjadi
berkat adanya hubungan perdagangan seperti yang terlihat pada puisi-puisi
lama/tradisional Melayu karya Hamzah Fansuri hingga Amir Hamzah. Pada masa Cina
Peranakan dan Pujangga Baru pengaruh itu dimungkinkan terjadi melalui dunia
pendidikan Hindia Belanda yang mengenalkan karya sastra Eropa dan Belanda
khususnya. Sesudah perang kemerdekaan pengaruh kesusastraan asing terjadi
melalui indoktrinasi ideologi komunis seperti yang terlihat pada karya sastra
zaman Lekra. Dan juga melalui pergaulan internasional seperti yang
diperlihatkan dalam karya WS. Rendra, sajak-sajak pendek (Haiku)
Sapardi, maupun dalam pemikiran ajaran agama Katolik yang digambarkan oleh
Darmanto Jatman, dan Subagio Sastrowardojo.
Daftar Pustaka
Braginsky, Vladimir. 2009. “Jalinan dan
Khazanah Kutipan: Terjemahan dari Bahasa Parsi
dalam Kesusastraan Melayu, Khususnya yang
Berkaitan dengan “Cerita-Cerita Parsi,”
hal. 59-111, dalam Sadur: Sejarah
Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. (ed) Henri Chambert-Loir. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko.1983. Kesusastraan
Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta.
Gramedia
Djamaris, Edwar. 1983. Hikayat Nabi Mikraj,
Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Darma
Tasiya. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Mohammad Goenawan. 2001. Sajak-Sajak Lengkap:
1961-2001. Jakarta: Metaphor Publishing.
Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang
Modern Sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas
Catatan Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Sunarti, Sastri. 2012. “Romantisisme Puisi-Puisi
Indonesia tahun 1935-1939 dalam Majalah
Pujangga Baru” Jurnal Puitika,
No.1.Volume 8. Februari 2012. hal. 19-40. Padang: FIB Universitas Andalas
Padang.
Suyono dkk. 2008. “Cerita Pendek
Indonesia” Penelitian Tim Subbidang Pengkajian Sastra,
Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Jakarta.
Teeuw. A. 1980. Sastra Baru Indonesia.
Ende-Flores: Nusa Indah.
----------- 1983. Membaca dan Menilai
Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
----------- 1988. Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka.