Minggu, 30 September 2012

Sejarah Aksara Nusantara




 Aksara Nusantara merupakan beragam aksara atau tulisan yang digunakan di Nusantara untuk secara khusus menuliskan bahasa daerah tertentu. Walaupun Abjad Arab dan Alfabet Latin juga seringkali digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, istilah Aksara Nusantara seringkali dikaitkan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India sebelum berkembangnya Agama Islam di Nusantara dan sebelum kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.


Pengantar

Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad IV. 

Setidaknya sejak abad IV itulah Bangsa Indonesia telah mengenal bahasa tulis yang terus berkembang mengikuti perkembangan bahasa lisan. Perkembangan ini dimulai terutama sejak bahasa daerah (misalnya Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Jawa Kuno) juga dituangkan dalam bentuk tulisan selain dari Bahasa Sanskrta yang pada masa sebelumnya merupakan satu-satunya bahasa yang lazim dituliskan. Sejak abad XV Aksara Nusantara berkembang pesat dengan ditandai beraneka-ragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah hingga kemudian peranannya mulai tergeser oleh Abjad Arab dan Alfabet Latin. 

Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya Aksara Sunda Baku pada tahun 1996. 

Hampir semua aksara daerah di Indonesia merupakan turunan Aksara Pallawa yang berasal dari daerah India Selatan. Aksara Jawi, Akara Pegon, dan Aksara Bilang-bilang merupakan turunan Abjad Arab; sedangkan Aksara Nagari berasal dari daerah India Utara. Baik Aksara Pallawa maupun Aksara Nagari adalah turunan dari Aksara Brahmi yang merupakan induk semua aksara di Asia Selatandan Asia Tenggara

Istilah Aksara Nusantara juga bisa digunakan untuk merangkum aksara-aksara yang digunakan dan berkembang di Kepulauan Filipina. Hampir semua aksara daerah di Filipina merupakan turunan Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuno). Aksara-aksara ini meliputi Aksara Baybayin, Aksara Tagbanwa, Aksara Buhid, Aksara Hanunó'o, dan Aksara Kapampangan. Sedangkan Aksara Eskaya merupakan hasil budaya asli Bangsa Filipina. 

Beberapa aksara daerah dinamai menurut susunan huruf-hurufnya atau menurut nama abecedarium aksara tersebut. Demikianlah maka Aksara Jawa Baru dan Aksara Bali disebut Aksara Hanacaraka; sedangkan Aksara Rejang, Aksara Kerinci, Aksara Lampung, dan Aksara Sunda Baku disebut juga Aksara Kaganga mengikuti abecedarium Aksara Pallawa : ka kha ga gha nga. 

Media Tulis 

Berbagai macam media tulis dan alat tulis digunakan untuk menuliskan Aksara Nusantara. Media tulis untuk prasasti antara lain meliputi batu, kayu, tanduk hewan, lempengan emas, lempengan perak, tempengan tembaga, dan lempengan perunggu; tulisan dibuat dengan alat tulis berupa pahat. Media tulis untuk naskah antara lain meliputi daun lontar, daun nipah, janur kelapa, bilah bambu, kulit kayu, kertas lokal, kertas impor, dan kain; tulisan dibuat dengan alat tulis berupa pisau atau pena dan tinta. 

Perbedaan media tulis dan alat tulis mempengaruhi teknik yang digunakan untuk menulis dengan efektif. Perbedaan teknik penulisan yang efektif untuk tiap jenis media tulis dan alat tulis merupakan faktor besar yang menghasilkan keanekaragaman bentuk huruf aksara daerah. Aksara Sunda Kuno memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut paling mudah untuk dituliskan di daun lontar, sedangkan Aksara Bali memiliki bentuk huruf membundar karena bentuk huruf menyudut akan memecah lembaran daun lontar mengikuti arah seratnya. Aksara Kerinci memiliki bentuk huruf yang menyudut karena bentuk huruf menyudut lebih mudah untuk dituliskan di bilah bambu, sedangkan Aksara Jawa Baru memiliki bentuk huruf membundar karena bentuk huruf membundar lebih mudah untuk dituliskan di lembaran kertas. 

Periodisasi Aksara Nusantara 

Zaman Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha

Akara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha pada umumnya digunakan untuk menuliskan Bahasa Sanskrta atau bahasa daerah yang sangat terpengaruh Bahasa Sanskrta. 

Aksara Pallawa
Aksara Nagari
Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
Aksara Buda
Aksara Sunda Kuna
Aksara Proto-Sumatera

Zaman Kerajaan-kerajaan Islam

Aksara yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di antaranya memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa daerah (misalnya Aksara Jawa dan Aksara Bali) ataupun sistem vokalnya mengikuti sistem vokal Abjad Arab yang hanya mengenal tiga bunyi vokal (misalnya Aksara Kerinci dan Aksara Buhid). 

Aksara Batak (Surat Batak)
Aksara Rejang
Aksara Kerinci (Surat Incung) 
Aksara Lampung (Had Lappung)
Aksara Jawa (Aksara Jawa Baru / Hanacaraka) 
Aksara Bali
Aksara Lontara
Aksara Baybayin (Aksara Tagalog)
Aksara Tagbanwa
Aksara Buhid
Aksara Hanunó'o
Aksara Kapampangan
Aksara Eskaya

Zaman Modern 

Aksara daerah yang berkembang pada zaman modern memiliki huruf untuk menuliskan bunyi dalam Bahasa Arab (misalnya f dan z) dan Bahasa Latin (misalnya x dan v) yang tidak terdapat dalam bahasa daerah.

Aksara Sunda Baku,Perubahan Aksara Pallawa menjadi sejumlah aksara Nusantara, Aksara Jawa Baru (Hanacaraka), Aksara Bali, dan Aksara Bugis (Lontara). 

Seiring perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara dapat mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap saja dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak terpecah menjadi aksara baru. Demikianlah misalnya Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Arab sedikit berbeda dengan Abjad Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit berbeda dengan Alfabet Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara tidak luput dari kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang tetap mempertahankan kaidah inti aksara induknya.

Beberapa variasi Aksara Nusantara antara lain: 

-  Variasi Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna) 
-  Aksara Kayuwangi: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk membundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari sebelum hingga setelah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja Mataram (855 - 885). Oleh para ahli epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis tulisan Kawi yang paling indah. 
-  Aksara Kuadrat: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak / bujursangkar. Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
-  Aksara Majapahit: Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan banyak hiasan sehingga kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit karena variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit. 
-  Variasi Aksara Batak
-  Aksara Toba: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Toba
-  Aksara Karo: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Karo
-  Aksara Dairi: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Dairi.
-  Aksara Simalungun: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Simalungun
-  Aksara Mandailing: Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Mandailing
-  Variasi Aksara Lampung/Ulu 
-  Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Pasemah 
-  Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Serawai 
-  Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Lembak 
-  Aksara Ulu untuk menuliskan dialek Rejang 
-  Variasi Aksara Jawa
-  Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa
-  Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuno
-  Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Banten. 
-  Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Cirebon. 
-  Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.
-  Variasi Aksara Bali
-  Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali
-  Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Kuno
-  Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Sasak
-  Variasi Aksara Lontara
- Aksara Jangang-jangang : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Makassar. 
-  Aksara Bilang-bilang : Variasi dengan bentuk-bentuk tersendiri untuk menuliskan Bahasa Bugis. 
-  Aksara Lota Ende : Variasi dengan bentuk-bentuk huruf tersendiri untuk menuliskan Bahasa Ende
-  Aksara Makassar : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Makassar.
-   Aksara Bugis : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bugis.
-   Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Luwu
-   Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bima.
Sumber : Wikipedia Indonesia