nurjadinrusmin.blogspot.com # slide 1 title

Penddikan, Seni dan Teknologi.

nurjadinrusmin.blogspot.com # 2 title

Penddikan, Seni dan Teknologi.

nurjadinrusmin.blogspot.com # slide 3 title

Penddikan, Seni dan Teknologi.

nurjadinrusmin.blogspot.com # slide 4 title

Penddikan, Seni dan Teknologi.

nurjadinrusmin.blogspot.com # slide 5 title

Penddikan, Seni dan Teknologi.

Kamis, 26 September 2013

Yang Bisu, Yang Bicara: Memotret Luapan Hati Penyair Muda Magnit

Potretmu membisu di kamar itu

Keinginan untuk bebas tanpa ikatan musnah

Tertembus paku-paku baja yang mematri di sekelilingmu


(Potret Bisu, Jefri Widodo)



Potret, paku-paku baja, dan ikatan dalam puisi ini—hemat saya—sangat menarik untuk dicermati. Adakah ketiganya “ikatan” yang saling mengikat kuat atau sebaliknya, saling mencengkeram? Jefri Widodo, melalui perenungannya, berhasil mengungkapkan kegundahan tentang “potret” yang membisu di ruangan nan anggun dalam koridor pigura. Ya, potret yang gelisah. Potret yang ingin merangsek keluar dari pigura yang dijaga dengan kokoh oleh paku-paku baja.


Potret, yang anggun dalam pigura, bagi pemasangnya tentu memiliki arti. Potret adalah simpanan kabar yang ingin dikenang. Tentunya sang pemasangnya menaruh di tembok bukan ingin memasung kehendak potret itu sendiri, tetapi sudah semestinya begitu. Namun, boleh jadi , potret yang mengalami hal demikian berkendak lain: ingin bebas dan tak ingin menjadi kabar yang dikenang. Ia ingin bebas, sebagaimana “peristiwa” yang telah dilaluinya.


Potret memang bisu, tak bisa bicara secara lahiriah. Dan bisu adalah bentuk sikap lain dari wicara. Bisu bukan berarti tak ada hal yang bisa diungkapkan. Justru dari yang bisu melahirkan beragam tafsir. Dari kebisuan terkadang lahir beragam ilmu bagi yang mau menimba darinya. Jerfi Widodo baru sekelumit “menciduk” air sumur dari berbagai sumber kebisuan yang ada di sekitarnya. Hal yang sedikit itulah justru menambah cakrawalanya berpikir. Menambah daya cercap tentang lingkungannya.


Bila kita simak: sekitar kita kebanyakan bisu atau sekedar dibisukan. Jalanan, hutan, sungai, rakyat kecil, dan bahkan kitab suci adalah bagian dari yang bisu. Semua itu membutuhkan kecakapan membaca dari pihak yang tak bisu. Semua itu memerlukan interprestasi yang matang dan jeli. Sebab, interprestasi membutuhkan berbagai ilmu agar mempunyai makna yang tepat.


Kegagalan penguasa dimulai dari kegagalan membaca yang “dikuasai”. Sebab, yang dikuasai biasanya tak banyak bicara, yang bisu karena berbagai alasan. Seorang guru gagal menyampaikan ilmu kepada sang murid karena menempatkan murid “yang bisu” dan hanya perlu dijejali dengan beragam teori. Tanpa mau mendengar uneg-uneg yang tak tersampai. Kerusakan alam diakibatkan membabi butanya eksploitasi yang menganggapnya hanya sekedar bahan jarahan, bukan makhluk yang selayaknya bisa berbicara. Amburadulnya ekonomi terjadi ketika pelakunya hanya menggunakan “ satu telinga”: untung-rugi.


“Potret Bisu”, dipilih mewakili dari sekian puisi yang terangkum dalam antologi dua belas penyair Teater Magnit Ngawi, tak lain bentuk sikap “belajar” terhadap yang bisu. Saya lebih senang menyebut sikap “belajar” karena dalam hal ihwal dalamnya ada gerak naik-turun. Ada semangat. Ada rasa untuk terus mencari, meski jatuh bangun. Sikap belajar adalah sikap berpuasa—dan penyair adalah manusia yang terus berpuasa. Sikap yang berhasilnya kanti laku. Puasa adalah upaya memeka radar-radar yang dimiliki manusia untuk menangkap frekuensi-frekuensi halus atau yang tak tersentuh radar kebanyakan. Dan frekuensi-frekuensi inilah yang sering dianggap bisu.


Antar-penyair tentunya memiliki kepekaan tersendiri terhadap obyek yang disampaikan. Batu di mata penyair bisa mengandung beragam makna. Meragamkan berbagai tafsir tentang batu itu sendiri. Semakin beragamnya tafsir tentang batu yang dilakukan para penyair tentunya semakain menambah hazanah keilmuan, dan menghidupkan batu itu sendiri, yang dalam ilmu hayat disebut benda mati.


Ellisa Olivia A, mencoba memotret yang bisu dengan sajak “Oleh Rindu”nya. Sajaknya sebenarnya berisi kepiluan tetapi ia cepat mengolahnya sehingga tak terlihat pilu. “Ketika burung-burung gugur dari kepaknya dan masih mengepak ke langit/ ketika bunga-bunga luruh dari wanginya dan masih semerbak ke langit…” jika disimak ada sesuatu yang akan terbaring kalah namun dalam prosesnya itu masih ada sisa-sisa tenaga agar kekalahannya itu tidak sekedar kekalahan tanpa nilai. Ia percaya bahwa rerentuhan, pudarnya keharuman, birunya laut yang kini mulai tercemar oleh berbagai kegilaan manusia bisa disatukan oleh rindu.


Rindu, bagi Ellisa, menjadi nadi gerak hidup makhluk. Sebagaimana Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan tak lain dibalut dengan rasa saling merindu. Malam yang cepat melarut ke dalam siang karena ada rindu. Kemarau yang mengkerakkan tanah, seakan tangan yang menengadahkan doa-doa agar lekas terguyur air hujan. Rindu pula yang sering jadi tema sentral kaum sufi melukiskan “ketaataanya” pada Tuhan, bukan karena terpaksa.


Ada rindu, berarti ada cinta. Hal itu dibuktikan dengan puisi-puisinya Hanifah Hikmawati. Penyair muda yang masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sastra Arab UNS (Universitas Sebelas Maret, Solo) ini mencoba mematangkan arti cinta dan rindu. Sajak “Hikayat Al-Hubb”, misalnya, yang terdiri dari tiga sajak tak lain bentuk pematangannya dalam menangkap arti cinta. Sebagai mahasiswa yang berlatar belakang bahasa Arab, pembaca mungkin akan menerka jika “Al-Hubb”nya itu pasti cinta kepada Tuhan. Tetapi kenyataannya tidak. Namun, ia juga tidak melulu mengisahkan percintaan dunia (Hubbudunnya) tetapi menggarap dua wilayah itu secara proporsional. Ia memotret hubb-nya perjalanan manusia: dari bayi hingga tua dengan segenap permasalahannya. Terkadang pula ia merintihkan do’a-do’a, kedukaan, kesukacitaan manusia. Begitu pula, sebagai manusia, ia mengabarkan tentang Hubb terhadap sesama—yang dalam sajak “Hikayat Al-Hubb” obyeknya memakai kata “mu”.


Ika Friliyana mengambil jalan yang berbeda dari para penyair yang telah disebutkan di atas. Melalui sajak-sajaknya ia ingin menegaskan bahwa menghadapi dunia yang semakin gila, dengan berbagai ocehan yang membisingkan langit haruslah bersikap tegar. Tegar di sini bisa dalam wujud “tak ambil pusing” dengan berbagai ocehan tadi. Sajak “Jalanan Ini”, misalnya, bagaimana ia menyikapi berbagai tantangan dunia dengan keyakinan jika “langkah kakiku” akan melangkah sendiri sampai nanti. Boleh jadi “nanti” yang dimaksud adalah cita-cita, tujuan dari langkahnya.


Istichomatul Chosanah mengeksplorasi lebih dalam lagi dengan sajak-sajaknya. Sajak “Tersangkut Di Sehelai Rambut” adalah media yang ia gunakan untuk mengintip desah rambut pada tanah. Gerangan apa yang akan disampaikan rambut pada tanah sebelum ia jatuh padanya? Tak ada yang tahu. Mungkin ada dialog tawar-menawar antara rambut dengan tanah: supaya rela menerima ‘kejatuhan’nya. Di lain pihak, dalam sajak “Sepatu”, ada semacam sejarah panjang tentang alas kaki itu. Sepatu adalah teman yang setia mengawal perjalanan. Sehingga, tatkala pemakainya jika kelak mendapat ‘tiket’ surga, ia berharap agar sepatu yang pernah dipakai pun bisa masuk surga. Sajak ini mengingatkan saya pada hadist Rasulullah SAW mengenai pencari ilmu. Sebab, di dalamnya di kabarkan jika manusia pergi mencari ilmu dan mati dalam menempuhnya maka ia dijamin masuk surga. Bukankah sepatu dan pencari ilmu adalah dua hal yang tak terpisah untuk saat ini?


Selanjutnya, sajak-sajak Kaha Anwar adalah sajak kegelisahan. Sajak yang ia tulis dalam dua masa, dan dua tempat yang berbeda. Sajak “Simpang Sumpol” yang ditulis sekitar tahun 2006 di Sungai Danau, Kalimantan Selatan adalah kegilasahan tentang keangkuhan tambang-tambang yang ada di sana. Tambang adalah pundi kekayaan dan seharusnya bisa mensejahterakan penduduk sekitar ternyata berbeda dengan kenyataannya. Penduduk sekitar tetap saja miskin, seakan hanya menjadi penonton konvoi truk-truk “pengangkut batubara. Kegelisahannya itupun ia haturkan kepada Tuhan—terlukis dalam sajak “Obsesi” dan “Doa yang Kesepian”. Obsesi yang tak lain keinginan yang selalu menggoda, jika boleh dipadatkan tak lain adalah doa. Ya, dalam sajak itu ada semacam menertawakan para pendoa: “Selalu, tiap pagi setinggi tombak kau datang bawa kata yang jemu kudengar…oleh doamu yang tak kunjung tumbuh di tubuh peluh.”


“Pagi setinggi tombak” jika kita menggunakan cara membaca waktu zaman dahulu tak lain itu waktu dhuha. Dhuha sendiri oleh kalangan umat Islam selalu dikaitkan dengan waktu yang tepat untuk meminta kelancaran rezeki. Apabila dalam berdoa di waktu dhuha ini hanya meminta keduniaan semata tentunya sangat naïf. “Engkau tak akan pernah kaya jika hanya meminta, walau seribu dhuha engkau lakukan, tanpa bekerja”, mungkin itulah yang ingin Kaha sampaikan lewat sajaknya itu. Begitu pula dalam sajak “Tuhan” yang ia tulis di Yogyakarta: tak lain wujud kegundahan. Ia menyimpan pertanyaan yang akan ditanyakan pada Tuhan tentang nabi-nabi, kitab-kitab, agama-Nya. Sebab, baginya, ada sesuatu yang belum terjawab meski banyak tafsir-tafsir tentang itu semua. Sebaliknya, tafsir-tafsir malah menimbulkan justifikasi kebenaran sepihak, yang meneguhkan bahwa manusia mendahului kerso, kehendak Tuhan.


Waktu sepertinya media yang tepat untuk mengungkapkan uneg-uneg penyair. Sebagaimana Khotimatul Aminah, dengan waktu ia mengabarkan detik-detik menuju Ilahi. Sajak “Subuhku”, “Pukul 22.00”, dan “Hening” tak lain masa penantian bercumbu dengan Tuhan. Masa-masa itu kebanyakan manusia asyik dengan dengkurannya. Namun, bagi Khotimatul, waktu itu adalah waktu penantian. Waktu menggelar sajadah untuk bermunajat pada Tuhan yang menguasai waktu. Waktu untuk mengheningkan kalbu, ketika para makhluk akan memasuki masa keriuhan aktivitas.


Di lain pihak, Penyair Muhtar S. Hidayat sajak-sajaknya dipenuhi aroma sosial. Ia ingin langsung bersinggungan dengan keadaan alam sekitar. Ia menjumput rokok—dalam sajak “Rokok”—dan membelanya. Rokok sekarang ini dihukum habis-habisan: pangkal segala penyakit. Ia tak segan-segan meng-counter opini-opini yang sekarang tercipta. Ia berani menegaskan: Merokoklah sebatang! Sebab, dalam hisapan rokok akan tercipta baying tentang petani rokok, para buruh rokok yang kebanyakan perempuan itu. Kenapa rokok yang selalu disalahkan dan diberi cap pada bungkusnya jika ia sumber biang keladi impotensi dan hipertensi? Bukankah selain rokok ada produk-produk lain yang lebih berbahaya? Ini tak lain penzoliman terhadap rokok. Begitu pula dalam sajak “Jati Blora”, darinya ada kenangan, ada sumber kehidupan bagi warga sekitar hutan. Sajaknya ini mengingatkan saya dengan desa saya: dahulu, sebelum waktu subuh usai, beberapa tetangga saya selalu bergegas ke hutan untuk mencari daun jati. Dari situ ia menjual ke penjual-penjuan di pasar dan uangnya mereka gunakan untuk membeli beras dan menyekolahkan anak-anaknya.


Namun, kenyataannya sekarang berbeda, hutan jati menjadi barang yang sangat dilindungi. Ada moncong senapan yang siap menyalak menegur para pencari daun jati. Tetapi, senapan itu mlempem, ketika tangan-tangan angkuh manusia kota menghujamkan pisau ke pohon-pohon jati.


Begitu pula dengan penyair Dwi Nur Sukmono, yang masih mengusung tema sosial dan bernada gelisah. Sajak “Kita Ini Bangsa Kerongkongan” adalah sentilan telak bagi para pemangku kekuasaan, rakyat, bahkan Tuhan. Baginya pemangku kekuasan tetap bersikap ndoro yang harus dilayani. Sedangkan rakyat tak pernah puas dengan gaya kepemimpinan sang penguasa. Ketidaksinambungan ini akhirnya menciptakan ontran-ontran, kerusuhan dalam segala hal yang tak kunjung usai. Apalagi Tuhan menambah kemelut ini dengan kutukan-Nya, yang tak pernah berhenti.


Sajak “Ikan Dulu dan Kini” karya Penyair Susilo tak lain menyikapi fenomena anak sekolah sekarang. Ada yang beda antara anak sekolah dahulu dengan kini. Kenapa ia memilih ikan untuk menyikapi fenomena anak sekolahan tersebut? Ada sebuah hadist yang mengabarkan bahwa ikan-ikan di lautan, dan sungai akan senantiasa mendokan para pencari ilmu. ikan-ikan itu setia mendoakan. Hal itu tentunya karena pencari ilmu tulus niatnya, semata-mata memerangi kebodohan. Namun, boleh jadi niat itu kini telah berubah. Sekolah, mencari ilmu bukan lagi demi memerangi kebodohan tetapi mungkin karena mengharap kedudukan setelah lulus. Sehingga “kemilaunya mutiara ilmu tak lagi diselimuti elok”, sehingga ikan-ikan kini pun berhenti berdoa.


Kekonyolan niat mencari ilmu itupun berimbas pada kekonyolan polah tingkah. Coba pergilah ke sekolah, atau setidaknya nongkronglah di tepi jalan yang dilalui anak-anak sekolah dan simak mereka: apa yang bisa anda bedakan antara jalan sekolah dan catwalk? Tapi, ini bukan salah mereka semata. Mereka hanyalah imbas dari pihak yang berpengaruh luas. Dari lingkup yang selalu menebarkan bibit penyakit pada semaian intelektual, dan pola tingkah mereka.


Tak heran jika Vivi Rocharirin menanyakan realita-realita yang dialami “barisan pengaku merah jambu” dalam sajaknya “Surat Kecil Untuk RA Kartini”. Emansipasi, kesepadanan derajat kaum Adam dan Hawa ternyata masih meleset atau bahkan keliru diterjemahkan: “…Saat payudara dan pahamu kau pertontonkan tanpa rasa malu. Inikah kesetaraan yang kalian inginkan?..”


Vivi pun berharap pada RA Kartini, yang dianggap sebagai pelaku pertama pengusung emansipasi, agar bangkit lagi. Agar menerjemahkan atau mewedar kepada kaumnya tentang arti kesetaraan itu. Agar perempuan—manusia, secara umum—tak terjebak pada pilihan: mana api mana air. Vivi memang penyair perindu: merindukan perempuan yang benar-benar empu bukan sekedar empuk (lunak) daging yang sering dipertontonkan. Begitu pula, ia merindukan tentang masa lalu yang dianggapnya ada kedamaian. Masa lalu memang menjadi romantisme yang tak surut dikunjungi, meski itu hanya bekas-bekas yang hampir menyublim. Sajak “Kota Hilang” tak lain merupakan tanggapannya terhadap kota-kota besar yang semakin kehilangan ruh lokal widom-nya. Padahal dahulu di tempat itu tumbuh nilai-nilai luhur yang pernah dituturkan oleh leluhur. Tapi kini, yang jadi cerita adalah kerlap-kerlip lampu kota, jalanan yang bising, dan gelak tawa penghuninya di ruang-ruang hiburan.


Ada dua tipe dalam sajak-sajaknya Wahyu Prihantoro. Pertama, sajak-sajak yang mencoba bercumbu intens dengan alam, tergambar dalam sajak “Tangisan Laut”, “Malam Mati”, “Bintang Menancap Hati”. Laut, malam, dan bintang baginya adalah media yang seharusnya digunakan untuk selalu bertafakur, ber-muhasabah diri di hadapan ilahi. Sebab ketiganya menandakan ada pergantian waktu: yang datang dan pergi. Ada umur manusia yang kian hari menyusut, berkurang namun dirayakan dalam pesta ulang tahun. Lewat sajak “Kado Ulang Tahun” Wahyu mencoba mengingatkan: dalam pesta itu ada sesutau yang terus pergi dan tak pernah kembali, yaitu umur.


Kedua, sajak-sajak yang berusaha menyurakan tentang keadaan Negara. Sebagai anak yang tumbuh di alam demokrasi, Wahyu ternyata menemui bualan-bualan dari para calon pemimpin. Sajak “Suaraku” adalah gambaran bagaimana kampanye para calon pemimpin hanyalah kamuflase semata. Bak fatamorgana yang menyuguhkan kilaun oase di tengah padang pasir tapi kosong melompong.


Janji-janji yang tak ditepati itulah yang menjadikan negara ini terus hidup dalam kepura-puraan—seperti yang terlukis dalam sajak “Negara Palsu”. Semakin lihai berpura, semakin pula makmur hidup seseorang di negara palsu. Dan kenyataannya, memang kita pun damai dengan beragam kepalsuan yang ada. Apakah yang dihadapan seorang murid itu benar-benar guru atau sebaliknya: sales ilmu? Benarkah ia presiden atau jangan-jangan hanya penguasa partai yang kebetulan saja menerima kekuasan setelah sekian adegan perebutan itu dilakukan? Benarkah ia  ulama atau jangan-jangan germo macak kyai? Inilah potret negara palsu: yang sudah susah dibedakan lagi karena kita sendiri juga palsu.


****


Akhirnya, puisi memang bukan sekedar gremengan hati. Bukan sekedar kongkalikong estetika bahasa. Tetapi, puisi memang semacam luapan hati. Ia bisa berwujud apa saja yang oleh penyair dicoba dipadatkan dalam kata-kata untuk dikabarkan kepada pembacanya. Meski pembaca itu pun hanya skala diri pribadi.

Dan, kedua belas penyair muda Magnit itu baru memulai menapaki padatan-padatan kata yang dikabarkan. Sebab, puisi tak pernah berhenti pada selesainya penyair mengakhiri kata dalam baitnya. Akan tetapi, bait-baitnya itu akan berkelanjutan: menemukan ruhnya sendiri ketika selesai ditulis.



*Kaha Anwar
Anggota Teater Magnit Ngawi angkatan ke-10 dan sekarang tinggal di Yogyakarta I Sumber

Pengaruh Kesusasteraan Asing dalam Kesusastraan Indonesia


I. Pendahuluan 

Ketika kita membicarakan pengaruh kesusasteraan asing dalam kesusasteraan Indonesia maka kita harus melihat vista sastra Indonesia dari masa lalu hingga masa kini. Sebagai langkah awal, pandangan harus kita layangkan jauh ke belakang ke masa Hamzah Fansuri mula bersyair dan bernazam. Atau ke zaman Nurrudin Ar-Raniri ketika melahirkan Bustanul Sallatin (Taman Raja-Raja) dan Bustanul Katibin (Taman ). Hasil kesusastraan di zaman ini lebih sering disebut oleh sarjana sastra Indonesia-Melayu sebagai bagian dari sastra lama Indonesia dan dilanjutkan dengan sastra baru (modern) Indonesia yang dimulai sejak munculnya percetakan di Hindia Belanda dan diramaikan oleh kelompok Pujangga Baru tetapi sudah lebih dahulu dipelopori oleh penulis Tionghoa Peranakan yang mula pertama memperkenalkan cerpen dalam kesusastraan Indonesia modern.

Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama ini sudah dimulai sejak abad ke-16 di zaman Hamzah Fansuri, Nurrudin Arraniri, Syamsuddin-Al Sumatrani, hingga periode para wali di Jawa yang banyak menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di Jawa jauh sebelum Islam masuk pun sudah memiliki karya sastra kakawin yang mendapat pengaruh dari India. Kesusastraan asing yang paling berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab dan Parsi (Persia) sebagaimana sudah disebutkan di atas. Jejaknya itu dapat kita baca pada naskah-naskah lama yang ditulis dalam aksara Arab Melayu dan tersebar luas hingga ke seluruh wilayah Nusantara.  Karya-karya sastra dari Arab dan Parsi ini sangat banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu serta meninggalkan bentuk hikayat, syair, gazal, rubai, gurindam,  masnawi, dan barzanzi dalam khazanah sastra Indonesia lama.

Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan di Indonesia, pengarang Indonesia modern yang dimulai oleh penulis  Cina Peranakan masih menulis syair dan pantun  dalam karya cetak. Namun, pada tahun 1912, sudah mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam buku cerita Warna Sari di Surabaya. Cerita pendek yang dimuat berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer dan ditulis dalam ragam bahasa Melayu rendah, (Sastri, 2012).  Pada masa Angkatan Pujangga Baru perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya-karya sastra Eropa khususnya Belanda semakin mudah diperoleh baik melalui buku pelajaran dis ekolah maupun melalui karya saduran. Jika sebelumnya karya sastra asing seperti Arab dan Parsi diperoleh melalui hubungan perdagangan maka karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan di masa Hindia- Belanda.

Pada zaman Jepang, pengaruh kesusasteraan asing seperti Jepang tidak terlalu banyak berarti dalam kesusastraan Indonesia. Hal ini disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang dan tidak adanya upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia pada saat itu. Upaya-upaya penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia justru baru dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’sruf menerjemahkan novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ke dalama versi Indonesia yang berjudul Negeri Salju. Selanjutnya karya sastra Jepang mulai banyak dikenal dalam versi terjemahan Indonesia berkat bantuan Japan Foundation dan Toyota Foundation, Toshiki dkk (2009: 205). Puisi-puisi pendek Jepang (haiku) yang sangat terkenal itupun mulai tampak dalam karya sastra Indonesia melalui beberapa sajak pendek Sapardi Djoko Damono yang ditenggarai terpengaruh oleh haiku ketika ia bermukim di Jepang.

Sesudah kemerdekaan tepatnya pada tahun 1960-an pengaruh kesusastraan asing dalam karya sastra Indonesia lebih disebabkan karena pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Sovyet. Hal itu dapat kita temukan pada karya-karya para penulis Lekra yang banyak menerjemahkan karya sastra Rusia yang beraliran kiri.


II. Jejak Kesusastraan Parsi dan India dalam Kesusastraan Indonesia Lama

Boleh dikatakan bahwa karya Hamzah Fansuri yang sangat terkenal yakni Hikayat Burung Pingai ditenggarai oleh beberapa ahli mendapat pengaruh  dari karya sastra  Parsi yang berjudul Manttiq at-tayr (Percakapan Burung-Burung). Demikian juga karya-karya Hamzah Fansuri yang lain sebagaimana yang dicatat oleh Al-Attas (1970) memperlihatkan pengaruh puisi sufi dari Parsi. Diantara karya-karya Hamzah yang terpenting itu adalah Syarab al-Asyikin (Anggur Orang-Orang Pengasih), Asrar al-arifin (Rahasia Orang-Orang Arif), dan Al- Muntahi (Sang Ahli Ma’rifat).  Karya yang terakhir ini merupakan kutipan dari lusinan penyair Parsi yang ternama seperti Attar, Rumi, Iraqi, Shabistari, Shah Ni’matullah, Maghribi, dan lain-lainnya.

Persinggungan negeri-negeri di bawah angin dengan pedagang-pedagang Arab dan Parsi pada masa lampau yang berdagang hingga ke Pansur memungkinkan juga dibawanya karya-karya sastra Arab dan Parsi ke wilayah Nusantara.  Sehingga kita dapat pula melihat jejak kesusastraan Parsi itu pada puluhan karya sastra Indonesia lama lainnya sebagaimana pernah disampaikan oleh Braginsky (2009: 59-102). Ia mencatat diantara karya Parsi yang sangat dikenal di Indonesia adalah Hikayat-i Muhammad-i Hanafiyah, Qissa-i Amir Hamzah,  Hikayat Indraputra, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Nur Muhhammad. Sebelumnya Djamaris (1983) menjelaskan pula bahwa Hikayat Nur Muhammad ini ditenggarai terpengaruh dari salah satu bab kitab  Rauzat al- Ahbab (Taman Sorga Para Pengasih) karya Attaullah ibn Fazlullah dari karya penulis Parsi. Selain itu, kita juga mengenal cerita berbingkai seperti Hikayat Kalilah dan Dimnah (Kalila wa-Dimna), Hikayat Bayan Budiman (Tuti-nama) yang semuanya berasal dari Parsi.

Pengaruh  kesusastraan India terhadap karya sastra Indonesia dapat kita temukan pada karya sastra Hikayat Seri Rama, Ramayana, Mahabarata, Hikayat Panji, Hikayat Cekel Weneng Pati, Barathayudha, dan kakawin Arjunawiwaha. Bahkan dalam tradisi pewayangan Jawa, kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana sudah diadaptasi menjadi karya sastra Jawa dan merupakan kisah pewayangan yang sudah dianggap sebagai kebudayaan adiluhung bangsa Jawa dan  menjadi bagian dari sistem nilai orang Jawa.


III.       Jejak Kesusastraan Eropa pada Kesusastraan Indonesia Modern

Ketika percetakan mulai masuk ke Hindia Belanda, kesusastraan asing semakin mudah diakses oleh kaum terpelajar bumi putra. Kehadiran buku-buku sastra dunia ditemukan dengan mudah dan menjadi bahan bacaan yang disampaikan di sekolah-sekolah Belanda pada masa lalu. Sebelum periode Balai Pustaka, kita telah mengenal sebuah karya yang fenomenal dari Multatuli yang berjudul Max Havelaar. Sastrowardojo (1989:138) menyebutkan bahwa karya Multatuli ini pernah diakuinya mendapatkan ilham dan pengaruh setelah membaca Pondok Paman Tom (Uncles’s Tom Cabin) karya Beecher Stowe yang terkenal itu. Penerjemahan cerita pendek Eropa dalam surat kabar awal di Hindia Belanda yang dilakukan oleh penulis Indo-Eropa maupun Cina Peranakan dan Pribumi turut berkontribusi dalam masuknya pengaruh bacaan Eropa dalam kesusastraan Melayu-Indonesia pada masa itu. Salah satunya adalah masuknya genre cerpen seperti yang telah disinggung di atas.

Pengaruh karya sastra penulis Belanda seperti de Tachtigers ‘Angkatan 1880’ pada pengarang Pujangga Baru salah sasatu faktor yang memudahkan masuknya pengaruh karya sastra Eropa dalam kesusastraan Indonesia modern, (Teeuw,1980). Salah seorang penyair Pujangga Baru Indonesia yang sangat terpengaruh dan memuja penyair Tachtigers Belanda adalah J.E Tatengkeng. Ia menulis sajak-sajak relijiusnya dengan mengacu pada gaya kepenulisan Frederik van eeden dan Willem Kloos dari Belanda seperti sajaknya yang berjudul KataMu Tuhan. Bahkan sebagai wujud kekagumannya pada penyair Belanda tersebut, Tatengkeng pernah menulis satu sajak yang khusus ditujukan kepada Willem Kloos,  (Sunarti, 2012). Jika Tatengkeng memuja penyair Belanda maka Sanusi Pane adalah salah seorang pengarang Angkatan Pujangga Baru yang mengagumi karya sastra pujangga India Rabidranath Tagore dan pernah menulis adaptasi cerita Gitanjali ke dalam bahasa Indonesia. Merari Siregar juga melakukan hal yang sama yakni pernah menyadur karya sastra Belanda ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tjerita si Djamin dan Si Djohan (1918). Karya ini disadur dari roman Jan Smees karya Justus van Maurik (Teeuw,1994:142-172). Selanjutnya Teeuw menjelaskan dengan panjang lebar mengenai kedua roman ini dan bagaimana cerita ini bisa disadur oleh Merari Siregar menjadi  versi Indonesia dengan latar cerita, nama para tokohnya disesuaikan dengan kondisi di Hindia-Belanda pada masa itu. Pengaruh komisi bacaan rakyat (Balai Pustaka) juga ikut menjadi andil bagi penyaduran cerita ini menurut Teeuw.

Satu pengaruh yang negatif dari proses sadur-menyadur karya asing ke dalam bahasa Indonesia ini adalah munculnya polemik terhadap karya sastra hasil saduran itu dengan tudingan sebagai karya plagiat. Kasus itu muncul pada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938) karya Hamka. Sebagai pengarang yang banyak membaca karya-karya sastra dalam bahasa Arab, Hamka sangat mengagumi karya seorang penulis Mesir yang bernama Mustafa Lutfi al-Manfaluthi yang hidup dari tahun 1876-1942. Penulis dari Mesir ini pernah menerbitkan sebuah novel saduran dari Perancis yang berjudul Magdalena yang diberinya judul dalam bahasa Arab  Madjulin. Ketika novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengalami cetakan yang ke-7, seorang penulis bernama Abdullah S.P. menulis tudingan bahwa karya Hamka menjiplak karya saduran Al- Manfaluthi. Karya saduran dari Al-Manfaluthi kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Berapa bagian dari karya itu setelah dibandingkan dengan karya Hamka ternyata memang memiliki persamaan, akan tetapi menurut Teeuw (1980:105) persamaan itu bisa timbul karena penerjemahan ke dalam bahasa Melayu dan jelas karya Hamka memiliki isi yang sama sekali berbeda dengan karya saduran Al-Manfaluthi tersebut. Bahkan ada kesan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan semi otobiografi dari penulisnya yang berbeda sama sekali dengan akhir dari novel Madjulin yang disadur oleh Manfaluthi.

Masalah yang sama dengan Hamka juga pernah dihadapi oleh Chairil yakni dituduh sebagai plagiat ketika melakukan penyaudran karya asing ke bahasa Indonesia. Chairil pernah dituduh melakukan plagiarisme atas karyanya yang berjudul Krawang-Bekasi. Hal ini disebabkan karena minat Chairil yang sangat tinggi terhadap karya penyair Eropa, khususnya Belanda seperti  Slauerhoff, Marsman, dan Rilke dan kemudian amat mempengaruhi sajak-sajaknya. Akibatnya salah satu sajaknya dianggap menjiplak karya Slauerhoff  yakni sajak Krawang Bekasi. Tudingan ini tidak dapat dibuktikan. Tetapi karena tuntutan ekonomi, tindakan plagiarisme memang pernah dilakukan oleh Chairil pada beberapa tulisan yang lain dan bukan sajak Krawang-Bekasi yang otentik milik Chairil. Malah pengucapan puitik Chairil dianggap memiliki nilai-nilai baru dalam struktur dan pilihan katanya yang sama sekali berbeda dan bahkan dianggap lebih baik dari sajak-sajak penyair Belanda yang disadurnya.

Pengaruh asing dalam sajak-sajak Chairil dapat juga kita temukan pada isi sajaknya misalnya, pada kata ahasveros dan sisipus yang menggambarkan pengetahuannya mengenai kebudayaan Eropa. Beberapa diksi dalam sajaknya juga tidak terlepas dari pengaruh kata-kata Belanda seperti baris sajaknya yang berbunyi: Hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Semangat individualisme yang masih asing pada masa Chairil menulis juga menjadi ciri pembeda sajaknya dengan pendahulunya seperti Amir Hamzah yang masih kuat terikat pada pantun  dan syair serta bahasa Melayu lama yang mengacu pada gaya penulisan  Hamzah Fansuri. Kedua sastrawan ini mewariskan syair dan pantun sebagai bagian puisi lama yang banyak sekali dipakai di awal kehadiran sastra Indonesia baru. Gaya ini kemudian ditinggalkan sama sekali oleh Chairil Anwar dalam sajaknya sehingga ia dianggap sebagai tokoh pendobrak zaman lama tersebut.

Keahlian Chairil melakukan penyaduran sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia juga diakui oleh kritikus sebagai karya saduran yang baik seperti yang dilakukannya pada sajak Huesca karya Jhon Cornford dari Amerika Serikat dan pada tahun 1967 sajak yang sama diterjemahkan oleh Taslim Ali dengan judul Sajak.
Sesudah Chairil Anwar tiada, pengaruh kesusastraan asing pada karya sastra Indonesia semakin dipertajam melalui beberapa karya penyair Indonesia modern yang nota bene mendapat pendidikan Barat. Sapardi (1983:5) menyebutkan beberapa nama pengarang Indonesia yang karyanya memperlihatkan pengaruh asing (Sastra Barat) seperti Pramoedya Ananta Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo. Tetapi saya lebih cenderung memberikan pilihan lain yang tidak disinggung oleh Sapardi dalam tulisannya itu. Diantaranya adalah karya-karya Subagio Sastrowardojo, Goenawan Moehammad, Darmanto Jatman, WS. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono sendiri.

Pengaruh asing pada karya Subagio Sastrowardoyo seperti terlihat dalam esei dan sajaknya. Karyanya itu memperlihatkan kuatnya nilai-nilai Katolik yang menjadi argumen dasar dalam tulisannya. Pada Goenawan Mohammad sajak-sajaknya memperlihatkan pergulatan untuk menjadi penyair yang hendak lepas dari nilai tradisi. Pengaruh asing pada karyanya lebih pada tataran ide dan bukan bentuk. Isi sajaknya menggambarkan hubungan personal yang sangat luas dengan tokoh dan penyair dunia sehingga kita menemukan penggalan kisah yang menggambarkan pertemuan Goenawan dengan tokoh-tokoh dunia dan tempat-tempat asing yang disinggahinya. Namun, berbeda dengan Chairil yang menulis puisi sebagai upaya pemberontakan terhadap bentuk dan struktur puisi Indonesia lama, sebaliknya Goenawan dengan sadar memanfaatkan rima-rima pantun dalam sajaknya untuk memperlihatkan “pertemuan” tradisi dan budaya luar yang dikenalnya. Semakin modern cara berfikir seseorang seperti Goenawan ternyata semakin sadar ia akan jatidiri dan identitasnya sebagai penyair yang tidak mungkin melepaskan diri dari akar budayanya. Sehingga lahirlah tafsiran baru atas nilai-nilai tradisi dalam wujud sajak modern seperti Gatoloco, Pariksit, dan Persetubuhan Kunthi.  Kita juga akan menemukan semangat dunia dan kosmopolitan dalam sajak-sajaknya yang memperlihatkan kecenderungannya pada persoalan sosial dan politik di Indonesia. Hal itu dapat kita lihat pada sajaknya yang berjudul Internationale dan sajak Permintaan Seorang yang Tersekap di Nanking, Selama Lima Tahun itu (untuk Agam Wispi). Sajak itu disampaikan dengan semangat puitika barat yang tidak mudah dipahami oleh pembacanya di Indonesia.

Pernah  pada satu masa, penyair  WS. Rendra, sangat menyukai menulis sajak dalam bentuk balada. Sebagai contoh bisa kita temukan pada sajaknya yang berjudul “Bersatulah Para Pelacur Ibukota”, Ballada Atmo Terbunuhnya Atmo Karpo”, Ballada Anak Mencari Bapa”, Ballada Suku Naga” dan lainnya. Bdentuk balada atau ballade dalams ajak-sajak Rendra tersebut memperlihatkan pengaruh kesusastraan asing khususnya pengaruh dari karya-karya balada penyair Federico Garcia Lorca yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun-tahun 1950-an. Sebagaimana disampaikan oleh Sapardi (1983:5) seperti pernyataannya di bawah ini.

“Periode sesudah perang membukakan pintu lebar-lebar bagi hampir semua arus penting dalam perkembangan sastra asing. Kalau sebelum perang arus yang masuk disaring oleh Bahasa belanda, tahun-tahun sesudah perang  dan 50-an membiarkan bahasa Inggris—bahasa yang jauh lebih luas jangkauannya—memperkenalkan berbagai corak perkembangan sastra dunia secara sekaligus. Nama-nama besar yang boleh dikatakan tidak pernah terdengar sebelumnya, tiba-tiba saja menjadi bahan pembicaraan di majalah-majalah dan di dalam diskusi-diskusi: Jean Paul Sastre, Franz Kafka, Albert Camus, James Joyce, William Faulkner, Premchand, Eugene O’Neill, Boris Pasternak, Federico Garcia Lorca, Ezra Pound, Yukio Mishima, dan sederet panjang lagi yang berasal dari berbagai negeri dan zaman. Dan muncul pulalah karya-karya penulis fiksi dan penyair seperti Pramoedya Ananta Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo; dan karya-karya mereka itu sering lebih mudah dikerabatkan dengan karya sastra asing tinimbang dengan karya yang pernah ditulis di negeri ini sebelumnya.”

Demikian pendapat Sapardi terhadap karya beberapa penulis Indonesia yang dianggapnya mendapat pengaruh asing dalam karya mereka. Pada Darmanto Jatman, pengaruh kesusastraan asing terutama Inggris terlihat pada kumpulan sajaknya Bangsat. Di sini Darmanto telah mencapai gaya pribadi sendiri dan ia tidak terlepas dari pengaruh sajak-sajak Inggris yang umumnya bercorak arif (sophisticated), cendikia (intellectual), dan jenaka (witty). Dengan mengambil gaya pengucapan yang demikian, Darmanto telah meninggalkan suasana romantik saja-sajak yang menjadi ciri umum persajakan Indonesia, (Sastrowardoyo, 1989:206).

Pada sajak-sajak Sapardi, pengaruh kesusastraan asing itu dapat dilihat bukan hanya pada struktur luar (bentuk) saja melainkan juga pada isisajaknya. Pengaruh kesusastraan asing terekam dalam sajak-sajak awalnya yang memperlihatkan struktur Haiku ‘sajak-sajak pendek’ Jepang. Sweeney dalam percakapan langsung dengan penulis pernah mengomentari bahwa Sapardi sesungguhnya menulis puisi barat tetapi menggunakan bahasa Indonesia.  Sastrowardoyo (1989: 191) melihat sajak-sajak Sapardi terutama dalam antologi Mata Pisau secara keseluruhan boleh dikata bertolak dari perntanyaan tentang makna dan tujuan akhir dari hidup. Pertanyaannya itu bersentuhan dengan masalah dasar yang pernah dirumuskan oleh Paul Gauguin waktu melukis di Haiti. Pada sebuah kanvas yang besar—yang disangkanya akan merupakan lukisannya yang terakhir sebelum pelukis Perancis itu berniat menghabisi nyawanya sendiri—dibubuhkannya judul berupa pertanyaan “ dari mana kita datang? Siapakah kita? Kemana kita pergi?” Kesadaran akan masalah hidup yang inti itu biasanya timbul dalam kemelut, suatu situasi krisis yang bisa dialami suatu kelompok masyarakat atau manusia orang-seorang. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pangkal-pangkal hidup yang pernah menghantui jiwa Gauguin itu, telah melahirkan sajak-sajak Sapardi dalam Mata Pisau.


Penutup

Pengaruh asing pada karya sastra Indonesia merupakan hasil sintesa pergaulan dan pergulatan para pujangga dan penyair Indonesia dari masa ke masa. Hal ini juga menunjukan keluasan pengetahuan dan minat penulis Indonesia terhadap karya sastra dunia. Pengaruh asing pada kesusastraan Indonesia (Melayu Nusantara) sejak dulu hingga kini dapat terjadi berkat adanya hubungan perdagangan seperti yang terlihat pada puisi-puisi lama/tradisional Melayu karya Hamzah Fansuri hingga Amir Hamzah. Pada masa Cina Peranakan dan Pujangga Baru pengaruh itu dimungkinkan terjadi melalui dunia pendidikan Hindia Belanda yang mengenalkan karya sastra Eropa dan Belanda khususnya. Sesudah perang kemerdekaan pengaruh kesusastraan asing terjadi melalui indoktrinasi ideologi komunis seperti yang terlihat pada karya sastra zaman Lekra.  Dan juga melalui pergaulan internasional seperti yang diperlihatkan dalam karya WS. Rendra, sajak-sajak pendek (Haiku) Sapardi, maupun dalam pemikiran ajaran agama Katolik yang digambarkan oleh Darmanto Jatman, dan Subagio Sastrowardojo.



Daftar Pustaka

Braginsky, Vladimir. 2009. “Jalinan dan Khazanah Kutipan: Terjemahan dari Bahasa Parsi
dalam Kesusastraan Melayu, Khususnya yang Berkaitan dengan “Cerita-Cerita Parsi,”
hal. 59-111, dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. (ed) Henri Chambert-Loir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko.1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta.
Gramedia

Djamaris, Edwar. 1983. Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Darma
Tasiya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mohammad Goenawan. 2001. Sajak-Sajak Lengkap: 1961-2001. Jakarta: Metaphor Publishing.

Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas
Catatan Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Sunarti, Sastri. 2012. “Romantisisme Puisi-Puisi Indonesia tahun 1935-1939 dalam Majalah
Pujangga Baru” Jurnal Puitika, No.1.Volume 8. Februari 2012. hal. 19-40. Padang: FIB Universitas Andalas Padang.

Suyono dkk.  2008. “Cerita Pendek Indonesia”  Penelitian Tim Subbidang Pengkajian Sastra,                               Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Jakarta.


Teeuw. A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

----------- 1983.  Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

----------- 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka.


Rabu, 25 September 2013

Resensi Buku " Bumi Manusia " Karya Pramoedya Ananta Toer


Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980.

Buku ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada teman-temannya.

Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Sebelum dilarang, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981. Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.