Kamis, 26 September 2013

Yang Bisu, Yang Bicara: Memotret Luapan Hati Penyair Muda Magnit

Potretmu membisu di kamar itu

Keinginan untuk bebas tanpa ikatan musnah

Tertembus paku-paku baja yang mematri di sekelilingmu


(Potret Bisu, Jefri Widodo)



Potret, paku-paku baja, dan ikatan dalam puisi ini—hemat saya—sangat menarik untuk dicermati. Adakah ketiganya “ikatan” yang saling mengikat kuat atau sebaliknya, saling mencengkeram? Jefri Widodo, melalui perenungannya, berhasil mengungkapkan kegundahan tentang “potret” yang membisu di ruangan nan anggun dalam koridor pigura. Ya, potret yang gelisah. Potret yang ingin merangsek keluar dari pigura yang dijaga dengan kokoh oleh paku-paku baja.


Potret, yang anggun dalam pigura, bagi pemasangnya tentu memiliki arti. Potret adalah simpanan kabar yang ingin dikenang. Tentunya sang pemasangnya menaruh di tembok bukan ingin memasung kehendak potret itu sendiri, tetapi sudah semestinya begitu. Namun, boleh jadi , potret yang mengalami hal demikian berkendak lain: ingin bebas dan tak ingin menjadi kabar yang dikenang. Ia ingin bebas, sebagaimana “peristiwa” yang telah dilaluinya.


Potret memang bisu, tak bisa bicara secara lahiriah. Dan bisu adalah bentuk sikap lain dari wicara. Bisu bukan berarti tak ada hal yang bisa diungkapkan. Justru dari yang bisu melahirkan beragam tafsir. Dari kebisuan terkadang lahir beragam ilmu bagi yang mau menimba darinya. Jerfi Widodo baru sekelumit “menciduk” air sumur dari berbagai sumber kebisuan yang ada di sekitarnya. Hal yang sedikit itulah justru menambah cakrawalanya berpikir. Menambah daya cercap tentang lingkungannya.


Bila kita simak: sekitar kita kebanyakan bisu atau sekedar dibisukan. Jalanan, hutan, sungai, rakyat kecil, dan bahkan kitab suci adalah bagian dari yang bisu. Semua itu membutuhkan kecakapan membaca dari pihak yang tak bisu. Semua itu memerlukan interprestasi yang matang dan jeli. Sebab, interprestasi membutuhkan berbagai ilmu agar mempunyai makna yang tepat.


Kegagalan penguasa dimulai dari kegagalan membaca yang “dikuasai”. Sebab, yang dikuasai biasanya tak banyak bicara, yang bisu karena berbagai alasan. Seorang guru gagal menyampaikan ilmu kepada sang murid karena menempatkan murid “yang bisu” dan hanya perlu dijejali dengan beragam teori. Tanpa mau mendengar uneg-uneg yang tak tersampai. Kerusakan alam diakibatkan membabi butanya eksploitasi yang menganggapnya hanya sekedar bahan jarahan, bukan makhluk yang selayaknya bisa berbicara. Amburadulnya ekonomi terjadi ketika pelakunya hanya menggunakan “ satu telinga”: untung-rugi.


“Potret Bisu”, dipilih mewakili dari sekian puisi yang terangkum dalam antologi dua belas penyair Teater Magnit Ngawi, tak lain bentuk sikap “belajar” terhadap yang bisu. Saya lebih senang menyebut sikap “belajar” karena dalam hal ihwal dalamnya ada gerak naik-turun. Ada semangat. Ada rasa untuk terus mencari, meski jatuh bangun. Sikap belajar adalah sikap berpuasa—dan penyair adalah manusia yang terus berpuasa. Sikap yang berhasilnya kanti laku. Puasa adalah upaya memeka radar-radar yang dimiliki manusia untuk menangkap frekuensi-frekuensi halus atau yang tak tersentuh radar kebanyakan. Dan frekuensi-frekuensi inilah yang sering dianggap bisu.


Antar-penyair tentunya memiliki kepekaan tersendiri terhadap obyek yang disampaikan. Batu di mata penyair bisa mengandung beragam makna. Meragamkan berbagai tafsir tentang batu itu sendiri. Semakin beragamnya tafsir tentang batu yang dilakukan para penyair tentunya semakain menambah hazanah keilmuan, dan menghidupkan batu itu sendiri, yang dalam ilmu hayat disebut benda mati.


Ellisa Olivia A, mencoba memotret yang bisu dengan sajak “Oleh Rindu”nya. Sajaknya sebenarnya berisi kepiluan tetapi ia cepat mengolahnya sehingga tak terlihat pilu. “Ketika burung-burung gugur dari kepaknya dan masih mengepak ke langit/ ketika bunga-bunga luruh dari wanginya dan masih semerbak ke langit…” jika disimak ada sesuatu yang akan terbaring kalah namun dalam prosesnya itu masih ada sisa-sisa tenaga agar kekalahannya itu tidak sekedar kekalahan tanpa nilai. Ia percaya bahwa rerentuhan, pudarnya keharuman, birunya laut yang kini mulai tercemar oleh berbagai kegilaan manusia bisa disatukan oleh rindu.


Rindu, bagi Ellisa, menjadi nadi gerak hidup makhluk. Sebagaimana Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan tak lain dibalut dengan rasa saling merindu. Malam yang cepat melarut ke dalam siang karena ada rindu. Kemarau yang mengkerakkan tanah, seakan tangan yang menengadahkan doa-doa agar lekas terguyur air hujan. Rindu pula yang sering jadi tema sentral kaum sufi melukiskan “ketaataanya” pada Tuhan, bukan karena terpaksa.


Ada rindu, berarti ada cinta. Hal itu dibuktikan dengan puisi-puisinya Hanifah Hikmawati. Penyair muda yang masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sastra Arab UNS (Universitas Sebelas Maret, Solo) ini mencoba mematangkan arti cinta dan rindu. Sajak “Hikayat Al-Hubb”, misalnya, yang terdiri dari tiga sajak tak lain bentuk pematangannya dalam menangkap arti cinta. Sebagai mahasiswa yang berlatar belakang bahasa Arab, pembaca mungkin akan menerka jika “Al-Hubb”nya itu pasti cinta kepada Tuhan. Tetapi kenyataannya tidak. Namun, ia juga tidak melulu mengisahkan percintaan dunia (Hubbudunnya) tetapi menggarap dua wilayah itu secara proporsional. Ia memotret hubb-nya perjalanan manusia: dari bayi hingga tua dengan segenap permasalahannya. Terkadang pula ia merintihkan do’a-do’a, kedukaan, kesukacitaan manusia. Begitu pula, sebagai manusia, ia mengabarkan tentang Hubb terhadap sesama—yang dalam sajak “Hikayat Al-Hubb” obyeknya memakai kata “mu”.


Ika Friliyana mengambil jalan yang berbeda dari para penyair yang telah disebutkan di atas. Melalui sajak-sajaknya ia ingin menegaskan bahwa menghadapi dunia yang semakin gila, dengan berbagai ocehan yang membisingkan langit haruslah bersikap tegar. Tegar di sini bisa dalam wujud “tak ambil pusing” dengan berbagai ocehan tadi. Sajak “Jalanan Ini”, misalnya, bagaimana ia menyikapi berbagai tantangan dunia dengan keyakinan jika “langkah kakiku” akan melangkah sendiri sampai nanti. Boleh jadi “nanti” yang dimaksud adalah cita-cita, tujuan dari langkahnya.


Istichomatul Chosanah mengeksplorasi lebih dalam lagi dengan sajak-sajaknya. Sajak “Tersangkut Di Sehelai Rambut” adalah media yang ia gunakan untuk mengintip desah rambut pada tanah. Gerangan apa yang akan disampaikan rambut pada tanah sebelum ia jatuh padanya? Tak ada yang tahu. Mungkin ada dialog tawar-menawar antara rambut dengan tanah: supaya rela menerima ‘kejatuhan’nya. Di lain pihak, dalam sajak “Sepatu”, ada semacam sejarah panjang tentang alas kaki itu. Sepatu adalah teman yang setia mengawal perjalanan. Sehingga, tatkala pemakainya jika kelak mendapat ‘tiket’ surga, ia berharap agar sepatu yang pernah dipakai pun bisa masuk surga. Sajak ini mengingatkan saya pada hadist Rasulullah SAW mengenai pencari ilmu. Sebab, di dalamnya di kabarkan jika manusia pergi mencari ilmu dan mati dalam menempuhnya maka ia dijamin masuk surga. Bukankah sepatu dan pencari ilmu adalah dua hal yang tak terpisah untuk saat ini?


Selanjutnya, sajak-sajak Kaha Anwar adalah sajak kegelisahan. Sajak yang ia tulis dalam dua masa, dan dua tempat yang berbeda. Sajak “Simpang Sumpol” yang ditulis sekitar tahun 2006 di Sungai Danau, Kalimantan Selatan adalah kegilasahan tentang keangkuhan tambang-tambang yang ada di sana. Tambang adalah pundi kekayaan dan seharusnya bisa mensejahterakan penduduk sekitar ternyata berbeda dengan kenyataannya. Penduduk sekitar tetap saja miskin, seakan hanya menjadi penonton konvoi truk-truk “pengangkut batubara. Kegelisahannya itupun ia haturkan kepada Tuhan—terlukis dalam sajak “Obsesi” dan “Doa yang Kesepian”. Obsesi yang tak lain keinginan yang selalu menggoda, jika boleh dipadatkan tak lain adalah doa. Ya, dalam sajak itu ada semacam menertawakan para pendoa: “Selalu, tiap pagi setinggi tombak kau datang bawa kata yang jemu kudengar…oleh doamu yang tak kunjung tumbuh di tubuh peluh.”


“Pagi setinggi tombak” jika kita menggunakan cara membaca waktu zaman dahulu tak lain itu waktu dhuha. Dhuha sendiri oleh kalangan umat Islam selalu dikaitkan dengan waktu yang tepat untuk meminta kelancaran rezeki. Apabila dalam berdoa di waktu dhuha ini hanya meminta keduniaan semata tentunya sangat naïf. “Engkau tak akan pernah kaya jika hanya meminta, walau seribu dhuha engkau lakukan, tanpa bekerja”, mungkin itulah yang ingin Kaha sampaikan lewat sajaknya itu. Begitu pula dalam sajak “Tuhan” yang ia tulis di Yogyakarta: tak lain wujud kegundahan. Ia menyimpan pertanyaan yang akan ditanyakan pada Tuhan tentang nabi-nabi, kitab-kitab, agama-Nya. Sebab, baginya, ada sesuatu yang belum terjawab meski banyak tafsir-tafsir tentang itu semua. Sebaliknya, tafsir-tafsir malah menimbulkan justifikasi kebenaran sepihak, yang meneguhkan bahwa manusia mendahului kerso, kehendak Tuhan.


Waktu sepertinya media yang tepat untuk mengungkapkan uneg-uneg penyair. Sebagaimana Khotimatul Aminah, dengan waktu ia mengabarkan detik-detik menuju Ilahi. Sajak “Subuhku”, “Pukul 22.00”, dan “Hening” tak lain masa penantian bercumbu dengan Tuhan. Masa-masa itu kebanyakan manusia asyik dengan dengkurannya. Namun, bagi Khotimatul, waktu itu adalah waktu penantian. Waktu menggelar sajadah untuk bermunajat pada Tuhan yang menguasai waktu. Waktu untuk mengheningkan kalbu, ketika para makhluk akan memasuki masa keriuhan aktivitas.


Di lain pihak, Penyair Muhtar S. Hidayat sajak-sajaknya dipenuhi aroma sosial. Ia ingin langsung bersinggungan dengan keadaan alam sekitar. Ia menjumput rokok—dalam sajak “Rokok”—dan membelanya. Rokok sekarang ini dihukum habis-habisan: pangkal segala penyakit. Ia tak segan-segan meng-counter opini-opini yang sekarang tercipta. Ia berani menegaskan: Merokoklah sebatang! Sebab, dalam hisapan rokok akan tercipta baying tentang petani rokok, para buruh rokok yang kebanyakan perempuan itu. Kenapa rokok yang selalu disalahkan dan diberi cap pada bungkusnya jika ia sumber biang keladi impotensi dan hipertensi? Bukankah selain rokok ada produk-produk lain yang lebih berbahaya? Ini tak lain penzoliman terhadap rokok. Begitu pula dalam sajak “Jati Blora”, darinya ada kenangan, ada sumber kehidupan bagi warga sekitar hutan. Sajaknya ini mengingatkan saya dengan desa saya: dahulu, sebelum waktu subuh usai, beberapa tetangga saya selalu bergegas ke hutan untuk mencari daun jati. Dari situ ia menjual ke penjual-penjuan di pasar dan uangnya mereka gunakan untuk membeli beras dan menyekolahkan anak-anaknya.


Namun, kenyataannya sekarang berbeda, hutan jati menjadi barang yang sangat dilindungi. Ada moncong senapan yang siap menyalak menegur para pencari daun jati. Tetapi, senapan itu mlempem, ketika tangan-tangan angkuh manusia kota menghujamkan pisau ke pohon-pohon jati.


Begitu pula dengan penyair Dwi Nur Sukmono, yang masih mengusung tema sosial dan bernada gelisah. Sajak “Kita Ini Bangsa Kerongkongan” adalah sentilan telak bagi para pemangku kekuasaan, rakyat, bahkan Tuhan. Baginya pemangku kekuasan tetap bersikap ndoro yang harus dilayani. Sedangkan rakyat tak pernah puas dengan gaya kepemimpinan sang penguasa. Ketidaksinambungan ini akhirnya menciptakan ontran-ontran, kerusuhan dalam segala hal yang tak kunjung usai. Apalagi Tuhan menambah kemelut ini dengan kutukan-Nya, yang tak pernah berhenti.


Sajak “Ikan Dulu dan Kini” karya Penyair Susilo tak lain menyikapi fenomena anak sekolah sekarang. Ada yang beda antara anak sekolah dahulu dengan kini. Kenapa ia memilih ikan untuk menyikapi fenomena anak sekolahan tersebut? Ada sebuah hadist yang mengabarkan bahwa ikan-ikan di lautan, dan sungai akan senantiasa mendokan para pencari ilmu. ikan-ikan itu setia mendoakan. Hal itu tentunya karena pencari ilmu tulus niatnya, semata-mata memerangi kebodohan. Namun, boleh jadi niat itu kini telah berubah. Sekolah, mencari ilmu bukan lagi demi memerangi kebodohan tetapi mungkin karena mengharap kedudukan setelah lulus. Sehingga “kemilaunya mutiara ilmu tak lagi diselimuti elok”, sehingga ikan-ikan kini pun berhenti berdoa.


Kekonyolan niat mencari ilmu itupun berimbas pada kekonyolan polah tingkah. Coba pergilah ke sekolah, atau setidaknya nongkronglah di tepi jalan yang dilalui anak-anak sekolah dan simak mereka: apa yang bisa anda bedakan antara jalan sekolah dan catwalk? Tapi, ini bukan salah mereka semata. Mereka hanyalah imbas dari pihak yang berpengaruh luas. Dari lingkup yang selalu menebarkan bibit penyakit pada semaian intelektual, dan pola tingkah mereka.


Tak heran jika Vivi Rocharirin menanyakan realita-realita yang dialami “barisan pengaku merah jambu” dalam sajaknya “Surat Kecil Untuk RA Kartini”. Emansipasi, kesepadanan derajat kaum Adam dan Hawa ternyata masih meleset atau bahkan keliru diterjemahkan: “…Saat payudara dan pahamu kau pertontonkan tanpa rasa malu. Inikah kesetaraan yang kalian inginkan?..”


Vivi pun berharap pada RA Kartini, yang dianggap sebagai pelaku pertama pengusung emansipasi, agar bangkit lagi. Agar menerjemahkan atau mewedar kepada kaumnya tentang arti kesetaraan itu. Agar perempuan—manusia, secara umum—tak terjebak pada pilihan: mana api mana air. Vivi memang penyair perindu: merindukan perempuan yang benar-benar empu bukan sekedar empuk (lunak) daging yang sering dipertontonkan. Begitu pula, ia merindukan tentang masa lalu yang dianggapnya ada kedamaian. Masa lalu memang menjadi romantisme yang tak surut dikunjungi, meski itu hanya bekas-bekas yang hampir menyublim. Sajak “Kota Hilang” tak lain merupakan tanggapannya terhadap kota-kota besar yang semakin kehilangan ruh lokal widom-nya. Padahal dahulu di tempat itu tumbuh nilai-nilai luhur yang pernah dituturkan oleh leluhur. Tapi kini, yang jadi cerita adalah kerlap-kerlip lampu kota, jalanan yang bising, dan gelak tawa penghuninya di ruang-ruang hiburan.


Ada dua tipe dalam sajak-sajaknya Wahyu Prihantoro. Pertama, sajak-sajak yang mencoba bercumbu intens dengan alam, tergambar dalam sajak “Tangisan Laut”, “Malam Mati”, “Bintang Menancap Hati”. Laut, malam, dan bintang baginya adalah media yang seharusnya digunakan untuk selalu bertafakur, ber-muhasabah diri di hadapan ilahi. Sebab ketiganya menandakan ada pergantian waktu: yang datang dan pergi. Ada umur manusia yang kian hari menyusut, berkurang namun dirayakan dalam pesta ulang tahun. Lewat sajak “Kado Ulang Tahun” Wahyu mencoba mengingatkan: dalam pesta itu ada sesutau yang terus pergi dan tak pernah kembali, yaitu umur.


Kedua, sajak-sajak yang berusaha menyurakan tentang keadaan Negara. Sebagai anak yang tumbuh di alam demokrasi, Wahyu ternyata menemui bualan-bualan dari para calon pemimpin. Sajak “Suaraku” adalah gambaran bagaimana kampanye para calon pemimpin hanyalah kamuflase semata. Bak fatamorgana yang menyuguhkan kilaun oase di tengah padang pasir tapi kosong melompong.


Janji-janji yang tak ditepati itulah yang menjadikan negara ini terus hidup dalam kepura-puraan—seperti yang terlukis dalam sajak “Negara Palsu”. Semakin lihai berpura, semakin pula makmur hidup seseorang di negara palsu. Dan kenyataannya, memang kita pun damai dengan beragam kepalsuan yang ada. Apakah yang dihadapan seorang murid itu benar-benar guru atau sebaliknya: sales ilmu? Benarkah ia presiden atau jangan-jangan hanya penguasa partai yang kebetulan saja menerima kekuasan setelah sekian adegan perebutan itu dilakukan? Benarkah ia  ulama atau jangan-jangan germo macak kyai? Inilah potret negara palsu: yang sudah susah dibedakan lagi karena kita sendiri juga palsu.


****


Akhirnya, puisi memang bukan sekedar gremengan hati. Bukan sekedar kongkalikong estetika bahasa. Tetapi, puisi memang semacam luapan hati. Ia bisa berwujud apa saja yang oleh penyair dicoba dipadatkan dalam kata-kata untuk dikabarkan kepada pembacanya. Meski pembaca itu pun hanya skala diri pribadi.

Dan, kedua belas penyair muda Magnit itu baru memulai menapaki padatan-padatan kata yang dikabarkan. Sebab, puisi tak pernah berhenti pada selesainya penyair mengakhiri kata dalam baitnya. Akan tetapi, bait-baitnya itu akan berkelanjutan: menemukan ruhnya sendiri ketika selesai ditulis.



*Kaha Anwar
Anggota Teater Magnit Ngawi angkatan ke-10 dan sekarang tinggal di Yogyakarta I Sumber